Lihat ke Halaman Asli

Afif Sholahudin

Murid dan Guru Kehidupan

Demokrasi dan Patronase Kekuasaan: Jabatan jadi Alat Transaksi

Diperbarui: 28 September 2024   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://nasional.kompas.com/read/2022/02/16/00000091/sumber-sumber-kekuasaan?page=all

Pada Kamis (19/9) yang lalu, DPR RI mengesahkan RUU Perubahan atas UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Salah satu perubahan yang mencolok adalah dihilangkannya batasan jumlah kementerian yang dapat dibentuk dalam kabinet pemerintahan mendatang. Dengan perubahan ini, kepala negara yang akan dilantik pada 20 Oktober mendatang bebas membentuk kementerian sebanyak yang diinginkan.

Kejanggalan Etis

Beberapa ahli hukum menyoroti pengesahan UU ini yang dianggap tidak biasa. Deni Indrayana, mantan Menkumham, mengkritik proses pengesahan UU yang terkesan terburu-buru. Dia menyoroti tidak adanya partisipasi publik yang berarti dalam pembuatan RUU tersebut, yang seharusnya menjadi syarat penting dalam penyusunan undang-undang. Hal ini pernah menjadi alasan pembatalan UU Ciptaker oleh MK, karena kurangnya partisipasi yang bermakna dari masyarakat.

Deni juga menganggap bahwa DPR telah melakukan pelanggaran etika bernegara. Di akhir masa jabatan, Presiden dan DPR seharusnya tidak membuat keputusan strategis yang berdampak luas bagi masyarakat. Proses yang elitis dan cenderung mengabaikan kepentingan publik semakin memperkuat kesan bahwa UU ini hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Selain itu, kemungkinan besar penambahan jumlah kementerian dapat menjadi sarana bagi presiden terpilih untuk membalas budi kepada partai politik dan pendukung yang telah membantu kemenangan dalam Pilpres. Seperti yang sering terjadi dalam demokrasi, pembentukan kabinet oleh presiden terpilih menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan di antara anggota koalisi.

Meskipun Prabowo Subianto, presiden terpilih, telah berjanji untuk membentuk kabinet zaken, yakni kabinet yang diisi oleh profesional, sejarah menunjukkan bahwa janji semacam itu jarang terwujud. Biasanya, kabinet diisi oleh kolega dan pendukung politik, terlepas dari kemampuan dan kompetensi mereka. Beberapa partai politik bahkan secara terbuka meminta jatah kursi menteri.

Bagi-bagi Kekuasaan dan Korupsi

Demokrasi menciptakan pola politik patronase, di mana jabatan dan kekuasaan dibagi-bagikan di antara politisi dan pendukung mereka. Dalam kondisi seperti ini, kekuasaan cenderung dibagikan tanpa mempertimbangkan kemampuan dan kompetensi, yang seringkali menyebabkan kerugian bagi perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN). Menteri BUMN Erick Thohir pernah menyebutkan bahwa utang BUMN pada tahun 2022 mencapai Rp 1.640 triliun, dengan beberapa BUMN bahkan terlilit pinjaman online.

Bagi-bagi kekuasaan ini juga membuka peluang besar untuk korupsi. Banyak proyek pemerintah akhirnya dikuasai oleh kelompok tertentu untuk keuntungan mereka sendiri, sementara pengawasan sulit dilakukan karena adanya konflik kepentingan antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Pada kenyataannya, dalam demokrasi kekuasaan tidak dipegang oleh rakyat, melainkan oleh segelintir elit politik. Prinsip "pemenang mengambil segalanya" menciptakan distribusi kekuasaan secara konstitusional namun jauh dari kesejahteraan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline