Arus globalisasi berkemajuan mempengaruhi beralihnya fase revolusi industri 4.0 yang menuntut banyak perkembangan terutama di bidang teknologi dan pasar. Pada era 4.0 saat ini perubahan arah persaingan berubah menuju seleksi disruptive innovation, yakni "inovasi pengganggu" yang dimunculkan pemain baru di pasar mainstream mengalahkan pemain lama karena daya saing yang terus berkembang. Hal ini berdampak pula pada karakter tiap generasi sebagai pelaku pendidikan yang harus didampingi perubahannya.
Terkadang sempat berfikir mengapa hal-hal yang dipelajari di kampus nyaris tidak relevan dengan realitas di lapangan. Mengapa demikian? Sebab, perkembangan pola pikir peserta didik jauh lebih lebih pesat dibanding teori-teori yang dipelajari guru di masa kuliah. Kebutuhan akan The inevitable transformation atau transformasi yang tak terelakkan menjadi tahap penting bagi para guru guna melewati masa adaptasi era 4.0 ini.
Era disruptive ini menunjukkan bahwa ukuran besar belum tentu menjadi jaminan, namun kelincahan yang menjadi kunci keberhasilan. Dalam lapangan perekonomian, tantangan ini dihadapkan kepada market leader karena kemunculan incumbent sebagai pesaing berat di arena emerging market. Siapa yang bergerak lincah dan terus melakukan inovasi akan mempengaruhi perubahan lingkungan sebagai posisi teratas. Sebagaimana CEO Netflix pernah mengatakan, jarang sekali ditemukan perusahaan mati karena bergerak terlalu cepat, namun sebaliknya yang sering ditemukan perusahaan mati karena bergerak terlalu lambat.
Begitupun faktor ini akan mempengaruhi lingkungan pendidikan khususnya keguruan. Guru di berbagai tingkatannya dihadapkan tantangan yang bertumpu pada cyber-physical system. Harapannya seluruh pelaku pendidikan mampu mensinergikan kemampuannya dalam menghadapi kebutuhan pendidikan 4.0. Tidak hanya peningkatan profesionalisme guru, namun kurikulum yang dinamis, sarana prasarana yang andal, serta teknologi yang mutakhir menjadi sorotan penting dalam penyesuaian dinamika pendidikan saat ini.
Beruntung pemerintah bertindak cepat dan tepat menghadapi fenomena ini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristek Dikti) menyelenggarakan program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan Tahun 2018. Hal ini didasarkan pada pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 2017 tentang Kewajiban guru memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik.
PPG dilaksanakan di beberapa Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) yang sudah bekerjasama dengan Kemendikbud. Pola pembelajaran yang diterapkan berupa pengembangan sistem hybrid learning dengan standar Indonesia. Penerapan sistem ini diharapkan menghasilkan lulusan yang unggul dan berkarakter dan mempunyai nilai-nilai kebangsaan serta relevan dengan perkembangan era industri 4.0 sehingga dapat menghasilkan kualitas peserta didik yang baik.
Mendikbud, Muhadjir Effendy, pernah menjelaskan kompetensi tambahan dalam kurikulum guna menghadapi era 4.0, yakni peserta didik diharapkan memiliki lima kemampuan di antaranya: Berpikir kritis, kreatif dan inovatif, keterampilan berkomunikasi, kerjasama dan kolaborasi, dan kepercayaan diri.
Zaman yang semakin dinamis menuntut kurikulum yang tersedia pun harus mengikuti perkembangannya. Maka dalam hal ini memahami esensi kurikulum lebih diutamakan agar guru dapat menyesuaikan dan mengembangkan diri dengan capaian yang ideal. Ketika guru terjebak dalam kendali administrasi yang kaku dan rumit justru akan menghambat mesin kreativitas guru semakin berkembang.
Terlebih di era Generasi Z, guru harus mengimbangi karakter peserta didik masa kini. Secara usia, guru boleh sudah melewati masa kekinian. Namun demikian, konsep kekinian yang dimaksud bukan berarti guru mesti bersikap seperti anak-anak, melainkan mampu memberi contoh sesuai nalar anak muda.
Lahir dan besar di era teknologi mau tidak mau membuat Generasi Z merasa lebih "ketergantungan" dibandingkan generasi sebelumnya. Maka hal ini berpengaruh pula terhadap metode pengajaran guru kepada generasi serba instan karena sudah akrab dengan budaya otomatisasi dan digitalisasi yang semakin canggih. Tak heran jika peran transfer of knowledge yang seharusnya dikuasai oleh para guru mampu digantikan sosok virtual yang lebih diminati para siswa saat ini.
Kendatipun perkembangan teknologi mampu merebut kepercayaan manusia, namun harus disadari kecanggihannya takkan mampu mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Itulah peran yang takkan tergantikan oleh guru saat memberikan proses belajar yang humanis. Hari Guru kemarin (25 November) mengingatkan kita pada peran fitrahnya. Tiada kebahagiaan yang dirasakan oleh seorang guru, kecuali melihat anak-anak didiknya berhasil mencapai impian mereka.