Lihat ke Halaman Asli

Afif Sholahudin

Murid dan Guru Kehidupan

Sistem Jaminan Produk Halal Indonesia, antara Kebutuhan dan Tantangan

Diperbarui: 20 Desember 2016   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Money.id

Oleh: Muhamad Afif Sholahudin

Dari sekian banyak syari’at islam yang Allah SWT turunkan kepada manusia, satu diantaranya yakni mengonsumsi produk halal. Syariat ini sudah lumrah dipahami oleh setiap muslim, bahkan non muslim pun banyak yang sudah paham hal ini. Dibandingkan dengan syari’at tentang memilih pemimpin muslim hingga pembangunan negara, hukum mengonsumsi produk halal sudah meluas dan mudah diterima oleh masyarakat. Sebab tidak ada satupun aktivitas muamalah yang bisa lepas dari kebutuhan akan suatu produk, sedangkan seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ seputar produk yang halal.

Dalam memenuhi kebutuhannya, Islam memberikan aturan terkait konsumsi produk. Dalam salah satu perintah-Nya kepada kita yakni dengan mengonsumsi produk halal dan thoyyib. Sebagaimana dalam firman-Nya :

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang amat nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 168)

Bahkan dengan makanan dapat menjadi penghambat doa dikabulkan. Dalam sebuah hadits Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim no. 1015)

Dalam hal ini, penulis tidak menyinggung hukum syara' suatu produk yang halal dan toyyib. Sebab penilaian itu akan membutuhkan penjelasan yang panjang, menyeluruh, dan mendalam, sehingga tidak asal menilai atau memutuskan hukum atas suatu produk. Begitupun kadar toyyib atas suatu produk belum bisa diukur berdasarkan pandangan subjektif semata, namun butuh hasil penelitian dari para ahli tentang kejelasan status kesehatan atas produk tertentu. Konsumen biasanya hanya melihat wujud asli produk siap makan/pakai sehingga tidak mungkin untuk mendalami satu per satu bagaimana proses produksi sampai distribusinya.

Jika dalam konteks Indonesia, sudah dibentuk lembaga yang bertugas memberikan sertifikasi kesehatan dan sertifikasi halal. Dibentuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang diharapkan mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya. Seperti yang dilansir web resminya, berdasarkan Pasal 2 Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun 2014, Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan obat dan makanan, yang meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan berbahaya.[1]  Sedangkan dalam konteks sertifikasi halal dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yakni Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) sebagai lembaga yang dipercaya oleh umat Islam di Indonesia untuk memberikan informasi dan standar halal atas suatu produk.

Dalam era kapitalisme, berkembangnya teknologi dan pemikiran tidak dibatasi dengan landasan syariat yang kuat. Karena yang haram dibolehkan, maka sesuatu yang dikonsumsi oleh seorang muslim pun harus terjaga agar jangan sampai tertkontaminasi dengan produk yang haram. Kehati-hatian seorang muslim harus dijaga agar terhindar dari konsumsi produk haram, atau sebisa mungkin menjauhkan diri dari yang syubhat.

Ambil salah satu contoh,  misalnya es krim yang menggunakan emulsifier (bahan pengemulsi).  Emulsifier sederhananya adalah satu senyawa kimia yang sekaligus mempunyai gugus hidrofilik (suka air) dan hidrofobik atau lipofilik (suka minyak). Emulsifier digunakan sebagai bahan untuk mempersatukan antara fase minyak dan fase air yang secara normal  tidak mungkin bisa bersatu sebagaimana peribahasa “seperti minyak dengan air”.  Dengan penambahan emulsifier, fase minyak dan fase air dapat bersatu membentuk emulsi yang homogen dan stabil. Emulsifier diperlukan untuk menjaga kestabilan emulsi pada es krim dan produk produk produk lain yang melibatkan pencampuran dua fase air dan minyak.

Aplikasi emulsifier banyak sekali dalam bidang pangan, farmasi dan kosmetika. Emulsifier merupakan salah satu bahan tambahan yang biasa dikodekan dengan E322 (lecithin), E471 (mono dan digliserida dari asam lemak), dan E472 (senyawa ester dari monogliserida dari asam lemak). Di media sosial berkembang isu bahwa semua emulsifier ini berasal dari bahan lemak babi, bahkan semua bahan atau sebagian besar bahan berkode E tersebut berasal dari bahan haram.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline