Lihat ke Halaman Asli

Afif Auliya Nurani

TERVERIFIKASI

Pengajar

Balada Anak Karbitan

Diperbarui: 4 April 2017   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa tahun terakhir, orang tua modern semakin sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini. Mereka berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan yang terbaik demi mengoptimalkan perkembangan buah hatinya. Lembaga-lembaga formal dalam pendidikan anak usia dini pun bermunculan di pusat kota hingga pinggiran desa. Kursus keterampilan, les tematik, dan hal-hal yang bersifat kilat juga tidak mau kalah. Tawaran dalam berbagai macam bentuk pendidikan tersebut sangat beragam, mulai yang puluhan ribu hingga puluhan juta. Dari kursus yang membuat anak cakap berbahasa asing hingga cakap bermain musik. Sungguh, dunia pendidikan anak usia dini saat ini penuh dengan denyut-denyut kegairahan dan nafsu orang tua.

Kondisi yang demikian memang terlihat biasa saja bagi orang awam bahkan mungkin dianggap hebat. Karena dalam usia yang masih seumur jagung, anak sudah menguasai berbagai keterampilan yang out of the box, yakni di luar standar perkembangannya. Hal tersebut mengakibatkan munculnya anak-anak “ajaib” dengan kapasitas intelektual yang luar biasa atau dikenal dengan sebutan anak karbitan. Seperti kisah masyhur tentang William James Sidis, putra seorang psikiater internasional. Kecerdasan dalam bidang matematika yang dimiliki William membuat ia terdaftar menjadi mahasiswa Havard College saat usianya masih 11 tahun. Namun, apa yang terjadi? Beberapa tahun kemudian, seorang wartawan bertemu dengan pemulung rongsokan mobil tua, yang tak lain adalah William, si anak “ajaib” tersebut. Berbeda dengan banyak kasus ilmuwan-ilmuwan yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka masih dalam masa usia dini, tidak jarang mereka diberi label sebagai anak culun dan sama sekali tidak terkenal. Seperti halnya Albert Einstein, penggagas rumus teori relativitas tersebut dulunya mengalami kesulitan belajar ketika masih kanak-kanak. Bagaimana bisa hal tersebut terjadi?

Selama berpuluh-puluh tahun, masyarakat dunia begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kognitifnya. Oleh sebab itulah pendidikan berbagai jenjang senantiasa naik level setiap tahunnya, kurikulum dikembangkan sedemikian rupa untuk memampatkan seluruh target kompetensi, serta lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal berlomba-lomba meningkatkan kualitas dan kuantitas demi mendapat cap “unggulan”. Hal ini merupakan bencana bagi anak-anak, karena pendidikan yang dilaksanakan dengan cara memaksakan perkembangan otak akan menjadikan mereka cepat matang dan cepat busuk. Akibatnya, anak akan mengalami kebosanan dalam mencari ilmu. Itulah mengapa tidak sedikit dari mereka yang cerdas tapi malas dan angkuh, menganggap bahwa dirinya sudah terlampau mampu bila dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.

Di samping itu, tekanan yang bertubi-tubi akan membuat anak menjadi “cepat mekar”. Lihat saja, kini banyak anak yang bertingkah laku sebagaimana layaknya orang dewasa. Mulai dari cara bicara, berpakaian, bersikap, dan lain-lain. Hal ini sangat berbahaya, mengingat bahwa kecerdasan emosi dan perasaan tidak dapat digegas seperti halnya kecerdasan otak. Perasaan dan emosi memiliki waktu dan ritme tersendiri yang tidak dapat dikarbit. Bisa saja anak berpenampilan seperti orang dewasa, tetapi perasaan mereka tetaplah anak-anak. Maka kemampuan dalam menempatkan perasaan dan emosi tidak akan terlatih dengan baik, sehingga tidak jarang ditemui orang-orang dewasa yang sifatnya kekanakan, bahasa jawanya : rewel-an.

Ini merupakan sebuah renungan bagi seluruh orang tua, khususnya bagi yang memiliki anak di usia dini. Anak karbitan bukanlah sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Selain menjadikannya cepat matang dan cepat busuk, semua kehebatan yang jauh dilampauinya belum tentu sesuai dengan apa yang ia inginkan. Mengirim anak untuk kursus renang, piano, calistung, bahasa inggris, dan berbagai kursus serupa, secara tidak langsung akan “membunuh” masa kecilnya. Waktu berharga yang semestinya ia habiskan untuk berkumpul dengan keluarga, bermain, bercengkrama dengan teman sebayanya, dan bereksplorasi dengan lingkungannya, dibabat habis oleh ambisi orang tuanya hanya karena ingin mendapat pengakuan dari masyarakat tanpa mengerti bagaimana side effect yang ditimbulkan di kemudian hari. Maka, janganlah menuntut anak untuk menjadi cerdas, tapi justru jadilah orang tua yang cerdas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline