“Ah lo kebanyakan micin sih, jadinya lola deh!”
“Dek, jangan kebanyakan makan chiki ya, nanti jadi bodoh”
Sering mendengar kalimat-kalimat senada? Benarkah micin menjadi penyebab lola dan kebodohan? Atau jangan-jangan malah belum tahu apakah micin itu?
Sebelum membahas lebih jauh, kita coba analogikan terlebih dahulu ‘sosok’ micin dalam artian sebenarnya. Micin (atau bahasa kerennya monosodium glutamat alias MSG) merupakan senjata utama bagi kebanyakan pedagang kuliner mulai dari abang tukang bakso sampai abang tukang sempol. Micin memiliki peran yang sangat besar dalam proses memasak sebuah makanan. Karena jika misalnya semangkuk soto rasanya lezat, maka secara logika akan ada banyak yang membeli soto. Apabila banyak yang membeli soto, secara otomatis abang tukang soto akan memperoleh penghasilan yang banyak. Dan dengan memiliki banyak uang, abang tukang soto akan dengan mudah untuk menyusul tukang bubur yang sudah naik haji terlebih dahulu *yha.
Jadiii, dapat disimpulkan bahwa micin adalah salah satu aspek yang sangat penting. Namun na’asnya, micin memiliki self-concept yang rendah. Mengapa demikian? Lihat saja dari harganya yang hanya dijual sekian rupiah di pasaran. Hal tersebut akan mempermudah masyarakat dari berbagai kalangan untuk mendapatkannya. Selain itu, ternyata micin tidak mempunyai rasa sendiri, lho. Micin hanya bertugas untuk memperkuat cita rasa suatu makanan dan memberi stimulus dari rasa yang dapat diterima oleh lidah (manis, pahit, asin, dan asam).
Lantas, siapa sih yang disebut generasi micin?
Akhir-akhir ini, berbagai postingan yang bersifat memamerkan kemesraan, provokatif, bully-ing, dan sebagainya sedang marak di berbagai media sosial. Oknum-oknum yang mem-posting simbol kebobrokan moral tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yakni hanya untuk mencari sensasi semata. Nah, sebagian orang menghubungkan fenomena tersebut dengan penggunaan micin yang juga sehari-harinya ‘menuntut’ untuk semakin banyak dipakai dalam berbagai hasil makanan agar diminati konsumernya. Sebutan “generasi micin” biasa dialamatkan pada remaja tanggung maupun anak-anak usia sekolah yang yang menuntut perhatian lebih sehingga mereka berlagak dewasa dan melakukan hal-hal di luar batas wajar mereka. Generasi inilah yang terkadang sangat meresahkan khalayak karena perbuatan mereka sedikit-banyak bertentangan dengan nilai moral yang berlaku di Indonesia.
Di samping itu, istilah micin bisa jadi merupakan gambaran sebagian besar manusia yang notabene berperan sebagai “pengguna” daripada “pencipta”. Seperti yang saya katakan sebelumnya, ibarat micin yang memperkuat rasa makanan, manusia masa kini terutama pemuda tidak lebih hanya memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang sudah ada. Sedikit sekali pemuda kekinian yang ber-inovasi untuk membuat gagasan baru. Padahal ilmuwan-ilmuwan terdahulu kebanyakan sukses di usia muda dengan berbagai penemuan maupun sesuatu yang mereka ciptakan sendiri. Namun bukan berarti hal tersebut sepenuhnya buruk, hanya saja ada perbedaan kontras antara pemuda masa kini dan di masa lalu. Mengingat bahwa orang-orang terdahulu melakukan segala riset dengan berbagai keterbatasan, maka harusnya kita lebih banyak bersyukur dan bijak dalam menggunakan teknologi yang sudah ada. Betul, betul, betul?
Generasi micin akan terus berkembang seiring dengan bumi yang senantiasa berputar. Walau bagaimanapun, micin akan tetap menjadi senjata utama abang tukang bakso dan kawan-kawannya. Heheu. Intinya, kuy jadi insan produktif yang anti alay dan caper!
Dan, oh ya, terkait dengan penjelasan ilmiah tentang kebenaran micin yang mempengaruhi otak manusia, mengapa terlalu banyak mengkonsumsi micin dapat menyebabkan pusing, dan berbagai informasi seputar micin yang sebenarnya bisa didapatkan di link berikut :