Lihat ke Halaman Asli

Afid Alfian Azzuhuri

seorang pelajar - penikmat sastra - suka menulis- pendengar musik berbagai genre - masih manusia

Cerbung: Bab 3 Jejak di Hutan

Diperbarui: 13 September 2024   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pinterest.com/hyacinthpetal


Anak-anak SD itu keluar dari gua dengan tekad bulat. Mereka akan menemukan Pak Adi, penambang yang tersesat di hutan terlarang. Buku harian Pak Adi menjadi petunjuk utama mereka.
 
"Pak Adi menulis kalau dia menemukan sungai kecil," kata Rara, sambil menunjuk ke arah aliran air yang mengalir di antara pepohonan. "Mungkin kita bisa mengikuti sungai ini."
 
"Benar, Rara," kata Beni, si pendiam yang paling pendiam. "Sungai ini mungkin mengarah ke tempat Pak Adi berada."
 
Mereka berjalan mengikuti aliran sungai.  Hutan terlarang semakin sunyi dan gelap.  Pohon-pohon besar menjulang tinggi,  menghalangi sinar matahari.  Udara terasa dingin dan lembap.
 
"Lihat!  Ada jejak kaki di dekat sungai!" seru Maya, si pengamat yang paling teliti.  "Jejak kaki ini seperti jejak kaki Pak Adi."
 
"Benar, Maya," kata Dito, si penjelajah yang paling berani. "Jejak kaki ini mengarah ke sana."
 
Mereka mengikuti jejak kaki itu.  Jejak kaki itu membawa mereka ke sebuah tebing tinggi.
 
"Tebing ini...  seperti tebing yang Pak Adi gambarkan di buku hariannya," kata Tika.  "Dia menulis kalau dia menemukan tebing ini,  dan dia harus memanjatnya untuk mencapai puncak."
 
"Kita harus memanjat tebing ini," kata Rara, si ketua kelompok yang selalu bersemangat.  "Mungkin Pak Adi berada di puncak tebing."
 
"Tapi,  tebing ini sangat tinggi,"  kata Beni,  si pendiam yang paling pendiam.  "Aku takut."
 
"Tenang,  Beni.  Kita akan bersama,"  kata Dito,  si penjelajah yang paling berani.  "Kita akan saling membantu."
 
Mereka mencari pegangan di tebing.  Mereka saling membantu,  saling mendorong,  saling menyemangati.  Mereka memanjat tebing dengan susah payah.
 
"Hati-hati,  Dito!"  teriak Rara.  Dito hampir terpeleset.  Rara dengan cepat menarik tangan Dito,  menyelamatkannya dari jatuh.
 
"Terima kasih,  Rara,"  kata Dito.  "Aku hampir saja jatuh."
 
Mereka terus memanjat tebing.  Semakin tinggi mereka memanjat,  semakin jelas pemandangan di puncak tebing.  Di puncak tebing,  terdapat sebuah pohon besar yang menjulang tinggi.
 
"Pohon itu...  seperti pohon yang Pak Adi gambarkan di buku hariannya,"  kata Maya.  "Dia menulis kalau dia melihat pohon itu,  dan dia merasa lega karena dia merasa dekat dengan peradaban."
 
"Mungkin Pak Adi berada di pohon itu,"  kata Rara.  "Kita harus segera ke sana."
 
Mereka akhirnya mencapai puncak tebing.  Mereka bernapas dengan lega.  Mereka melihat pohon besar itu,  dan mereka melihat seorang pria duduk di atas cabang pohon itu.
 
"Pak Adi!"  teriak Rara.  "Kami menemukanmu!"
 
Pria itu menoleh.  Matanya berbinar-binar.  "Anak-anak!  Kalian...  Kalian menemukan aku!"
 
Pak Adi turun dari pohon.  Dia memeluk anak-anak itu dengan erat.  "Terima kasih,  anak-anak.  Kalian menyelamatkan aku."
 
"Tidak apa-apa,  Pak,"  kata Rara.  "Kami senang bisa membantu."
 
Anak-anak itu membawa Pak Adi keluar dari hutan terlarang.  Mereka membawa Pak Adi ke desa mereka.  Warga desa menyambut Pak Adi dengan gembira.  Mereka bersukacita karena Pak Adi telah ditemukan.
 
Bersambung...
 

Kendal, 13/09/2024

Afid Alfian A.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline