Lihat ke Halaman Asli

A Afgiansyah

Digital communication specialist

Semanggi 1

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi tadi kala menuju ke kantor, tampak serombongan kendaraan yang dipadati anak-anak muda berjaket kuning tua. Ada demonstrasi tampaknya. Penasaran, saya cepatkan laju kendaraan untuk cari informasi siapa mereka. Setidaknya saya bisa melihat identitas di jaket kuning tua itu. Dan saya mendapatkan spanduk di sisi mobil angkot carteran: "usut tragedi semanggi 1".
Saya baru ingat, hari ini, 13 November , merupakan hari terjadinya tragedi Semanggi I. Sekelompok orang yang berkendara beriringan berjaket kuning tua  tadi tampaknya berniat berdemonstrasi. Sempat terbaca di antara rombongan itu tulisan "Mahasiswa ITI". Rasanya kepanjangan dari Institut Teknologi Indonesia. Entah di mana kampusnya, entah apa yang diperjuangkannya, entah mereka mengerti atau tidak apa yang mereka tuntut. Yang saya tau, rombongan ini mengembalikan ingatan saya ke 14 tahun lalu.
Hari ini, 14 tahun lalu, saya duduk di bangku dekat pintu belakang sebuah bus umum yang dicarter. Bus itu diparkir di depan kampus saya, FISIP Universitas Indonesia, Depok. Seorang senior naik ke atas bus lalu menyampaikan pesan, "Aparat mulai represif. Baru saja ada kabar terjadi penembakan di Atma Jaya. Teman-teman yang tidak siap menghadapi situasi ini sebaiknya turun dan tidak ikut melanjutkan demonstrasi."

Saya dan kawan sekelas saya Aji saling berpandangan. Apa yang disampaikan senior tadi cukup menegangkan. Saya baru sadar ini serius, bukan sekedar piknik. Sepanjang jalan di depan kampus saya ramai oleh teman-teman mahasiswa yang ingin "melepas" kami. Ini sebuah perjuangan. Dan waktu itu, tanpa pikir panjang, saya tentunya enggan turun dari bus. Saya harus maju.

Sepanjang jalan, orang-orang memberi semangat untuk iring-iringan bus yang membawa rombongan mahasiswa berjaket kuning. Di dekat fly over Tanjung Barat, sekelompok mahasiswi membagikan bunga untuk kami. Saya dan Aji berpandangan lagi. Apakah hari ini kita akan mati?

Rombongan kami menuju Gedung MPR/DPR RI di Senayan. Sedang digelar Sidang Istimewa di sana terkait dengan keanggotaan TNI/Polri di lembaga legislatif. Keistimewaan mereka harusnya dihapuskan karena wakil rakyat seharusnya dipilih oleh rakyat.

Tetapi saya tidak pernah sampai ke Senayan. Rombongan yang saya ikuti tertahan sampai di depan Universitas Moestopo, Kebayoran. Tidak ada apa-apa di sana, setidaknya sejak waktu magrib ketika saya tiba hingga tengah malam. Aparat yang menjaga barikade untuk mencegah mahasiswa menuju Senayan cukup bersahabat. Sesekali bahkan teman-teman di garis depan berbincang dengan aparat yang berjaga. Kawan saya Aji pulang sebelum tengah malam, sebelum bus umum ke arah Depok habis lebih tepatnya. Saya melanjutkan perjalanan bersama rombongan menuju Universitas Indonesia di Salemba. Kami bergadang di sana, hingga akhirnya saya pulang pada siang hari.

Pada saat yang bersamaan, kawan-kawan mahasiswa lain terjebak di depan Universitas Atma Jaya, Semanggi. Sama seperti saya dan rombongan, mereka ingin menuju Gedung MPR/DPR. Dan di sana aparat keamanan sangat-sangat represif. Lontaran gas air mata dan tembakan peluru tajam yang membabi buta menghantam mereka. Tujuh orang mahasiswa dan 8 orang dari masyarakat yang berada di seputar Atma Jaya meninggal dunia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline