Lihat ke Halaman Asli

Hanya Sang Waktu

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Masih ingatkah kamu ketika kita pertama bicara di layar sebesar sekian inci itu.. Ketika kita bertanya nama dan asal satu sama lain.

Di malam itu ketika aku sendiri, kamu datang memberiku sedikit kesejukan. Kita terus berbicara tanpa mengenal waktu, tentang hal apapun, tentang hidup. Walau aku tau kamu hanya orang asing dari negeri atah-berantah, yang aku tak tau mengapa kamu bisa disini.

Tanpa terasa hari-hari telah berlalu tiada hari yang tak terlewatkan bagi kita untuk selalu saling memberi kabar satu sama lain, aku merasa senang ketika menerima pesan darimu. Ketika handphone ku berdering lalu namamu muncul disana. Antusias tanpa batas.

Perasaan itu muncul tanpa diundang. Kenyamanan yang kamu berikan disaat kamu bilang cinta.

Hanya dalam bayangan imajinasiku saja aku bisa melihat senyummu, dan merasakan hangat pelukmu. Aku tak peduli, perasaan ini terlalu kuat dan mengalir deras tanpa terkendali.

Awalnya aku takut untuk terus memelihara dan menjaga perasaan ini. Namun setiap aku mendengar suaramu di ujung telepon sana entah mengapa aku merasa kuat. Tanpa peduli perasaan ini terus mengembang bagaikan bunga di usim semi yang terus disinari mentari.

Aku butuh kamu. Ya, hanya kamu.

Aku masih ingat betul saat-saat kamu berjanji akan datang ke tempatku. Aku masih ingat betul waktu kamu bilang kita akan pergi ke bioskop menonton film romantis berdua. Ah, anganku terlalu jauh. Lagi-lagi kamu tiup lagi angin kesejukan itu. Ku cari pembenaran atas perasaanku.

Lagu-lagu itu... Puisi-puisi itu....

Sadarku mulai muncul ketika aku merasa kamu saat sudah tak banyak lagi obrolan diantara kita. Dan ketika aku tahu ada sosok lain diluar sana. Bukan hanya satu, ternyata lebih. Hatiku bergejolak, aku kebingungan. Rasa sedih dan kebingungan bercampur adu. Ketika itu aku ingin menangis sejadi-jadinya, tapi entah mengapa aku tidak bisa. Kutarik napasku dalam-dalam mungkin ini hanya mimpi buruk.

Hatiku sakit bagai diiris sembilu, ku terbangun dengan mati rasa. Tersenyum pahit. Jangan pernah menganggapku kuat, Tali harapanku putus sudah. Air mataku akhirnya tumpah juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline