Nyatanya sampai saat ini krisis multi-dimensi masih menyelimuti bangsa dan negara kita. Dimulai dari krisis kesehatan, ekonomi, pendidikan, sosial sampai kepada krisisnya kebijkan-kebijakan negara yang belum mampu menjadi jawaban atas keadaan hari ini.
Sudah hampir 8 bulan sejak bulan Maret lalu kita berada disituasi yang penuh dengan ketidakpastian, Narasi new normal juga menjadi solusi "tanggung" bagi masyatakat kita dalam menjalankan kehidupannya.
Mungkin kita sendiri juga telah merasakan dampak dari pandemi serta dampak dari kurang tegasnya pemerintah dalam menyikapi keadaan. Dampak tersebut teramat nyata, dimulai dari keluarga kecil kita, lingkungan kita sampai kepada menyinggung hajat orang banyak. Sebagian dari kita tertatih dan lelah, sebagian dari kita menikmati dan menari diatas penderitaan orang lain.
Seberapa banyak dari kita yang telah mendapati kehilangan? Kehilangan pekerjaan, kehilangan produktivitas, kehilangan rencana yang telah disusun, kehilangan waktu untuk menunggu, kehilangan kesempatan untuk lanjut sekolah, kehilangan waktu bercengkrama hangat dengan keluarga, sebab kita sibuk mengurusi perut yang meringkih karena lapar, sibuk untuk memikirkan pekerjaan apa yang bisa menghidupi.
Ada yang harus berdiri di lampu merah selama berhari-hari untuk mencukupi kebutuhannya. Ada yang menahan lelah demi mendapatkan upah yang layak. Ada yang menyembunyikan rasa sakitnya dan rela untuk terus berkerja. Dan, ada yang kehilangan nyawa, demi menyelamatkan banyak manusia.
Dalam keadaan seperti ini banyak manusia yang sedang berjuang keras untuk bertahan hidup. Banyak manusia yang berjuang untuk keluarganya, menyekolahkan anak-anaknya, membayar cicilan hutang, hingga beralih pekerjaan karena diberhentikan dari tempat kerja lamanya. Keadaan yang tak bisa terhindarkan, semua hampir merasakan kesedihan yang sama. Namun, bukanlah alasan untuk tidak berjuang lagi, dan lagi.
Ditambah lagi Omnibus Law telah disahkan. Kebijakan ini dinilai akan memperpanjang rentetan permasalahan negara ini. Kebijakan yang eksploitatif dan diskriminatif. Perpaduan antara pandemi dan Omnibus Law benar-benar menjadi petaka bagi sebagian besar dari kita.
Buruh akan semakin susah, keringat tidak lagi ada harganya, pupusnya harapan-harapan akan sebuah perubahan. Kita jelas saja kecewa dan mempertanyakan keberpihakan wakil rakyat dan pemerintah kita.
Jika memang mengatas-namakan "Indonesia Maju" dasar dari kebijakan ini dibuat namun mengorbankan hajat hidup banyak orang, menelan banyak air mata, menggadaikan bangsa kita sendiri, hilangnya rasa kemanusiaan bangsa ini, saya lebih memilih untuk melawan arus. Bahkan, banyak dari kita yang tidak sepaham dan sepakat dengan adanya Omnibus Law.
Omnibus law adalah cerminan dari pemerintahan kita yang korup. Omnibus law adalah derita baru bagi perjuangan bangsa ini. Simbol pengkhianatan yang nyata terhadap amanah rakyat. Di tengah susah dan rapuhnya rakyat, omnibus bukanlah solusi, omnibus hanyalah jalan bagi sebagian golongan (oligarki) yang haus untuk terus mengeruk keuntungan bagi dahaga nafsunya sendiri dan kroni-kroninya.
Omnibus tidaklah mengobati orang-orang yang kelaparan, tidak mempersempit jurang kesenjangan dan ketimpangan. Omnibus tidak menghidupkan harapan banyak anak yang putus sekolah. Omnibus tidak bisa menggantikan hangatnya obrolan keluarga yang hilang karena susahnya keadaan hari ini. Dan omnibus adalah luka bagi mereka yang sudah berkorban nyawa demi banyak manusia.