Lihat ke Halaman Asli

Rentetan Gerbong Undang-undang Pendidikan

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13674860601945667846

[caption id="attachment_258582" align="aligncenter" width="504" caption="dokumen pribadi"] [/caption] Gambaran tentang pendidikan dan pengetahuan di Indonesia didapatkan dari sumber-sumber Cina kurang lebih satu abad setelah berdirinya kerajaan Kutai. I Tsing dan Hwui-ning berhasil menterjemahkan tulisan dari bahasa sanskerta ke dalam bahasa Cina mengenai Nirwana menurut pandangan Hinayana dari agama Budha. Dari temuan itu menandakan bahwa penyelenggaraan pendidikan telah dilakukan oleh masyarakat saat itu.

Sebelum kemerdekaan, Belanda memperkenalkan penyelenggaraan pendidikan yang berupa sistem dan jenis persekolahan. Mulai dari sekolah agama (Kristen) sampai dengan sekolah Akademi Pelayaran yang didirikan pada tahun 1743.

Memasuki tahun 1945 sebagai tonggak sejarah terbebasnya dari penjajahan Belanda, ternyata penyelenggaraan pendidikan disebutkan dengan sangat jelas. Pemerintah berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Founding Father Negara tidak lupa akan arti pentingnya pendidikan. Dalam Undang-undang Dasar tersebut secara nyata disebutkan bahwa pemerintah menjamin pendidikan dalam rangka mencapai taraf hidup yang lebih baik.

Meskipun negara masih dalam keadaan chaos, ternyata masalah pendidikan masih mendapat perhatian dari pemerintah. Setengah dasa warsa setelah kemerdekaan, ternyata Negara tak luput dari rongrongan dari anak bangsa sendiri. Untuk stabilatas perlu energy yang ekstra, pemikiran yang jitu, pemilihan alternative yang tepat. Makanya, masalah pendidikan harus diutamakan diantara beberapa pilihan di atas. Ini bisa dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang No. 4 tahun 1950, yang disempurnakan dengan Undang-undang No. 12 tahun 1952.

Melalui undang-undang tersebut, berarti pendidikan dianggap legal formal secara hukum. Dengan undang-undang beberapa pihak yang berkepentingan di dalamnya menjadi tidak ragu-ragu lagi. Tidak ada lagi yang menghalangi apalagi merongrong bagia setiap usaha untuk mencerdaskan bangsa. Tonggak sejarah ini bisa dijadikan sebuah dokumen, bahwa masalah pendidikan ternyata telah dipikirkan oleh pendiri bangsa ini.

Rentang waktu yang panjang, setidaknya 35 tahun, baru sadar. Bahwa dokumen formal yang berupa undang-undang ternyata tidak pernah disapa. Mungkin terlena dengan jargon orde baru. Trilogi pembangunan. Ataukah demokrasi telah mati suri. Apapun namanya, undang-undang pendidikan no. 2 tahun 1989 menjadi terhentak. Bahwa sisi-sisi pendidikan telah terabaikan. Hak untuk mendapat pendidikan yang layak bagi warga Negara (terutama miskin) telah lolos dari penglihatan. Pendidikan menjadi barang mainan bagi kaum elit. Benarlah pepatah yang terkenal saat itu “pendidikan menjadi menara gading”.

Lahirnya undang-undang no. 20 tahun 2003 yang lebih dikenal Sistim Pendidikan Nasional (sisdiknas) tak kurang hebohnya. Terutama pada pembahasan peserta didik. Sentimen agama ternyata lebih menonjol, dibanding dengan esensi dari materi peserta didik tersebut. Maklum, tahun 2003 adalah masa reformasi, dimana semua orang berhak untuk berbicara. Saya menamakan periode “pasar malam”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline