Sebagai seorang pegawai negeri pasti pernah dinilai oleh atasan. Penilaian pegawai negeri diatur oleh Peraturan Pemerintah RI No. 10 tahun 1979. Sejak PP ini diberlakukan, sampai sekarang belum ada revisi. Artinya bahwa aturan tersebut masih berlaku dan dianggap terbaik. Kalau penyemempurnaan, biasanya diterbitkan aturan-aturan pendukung.
Peraturan Pemerintah ini tentang Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan atau sering disebut dengan DP3. Peraturan ini juga dipakai untuk guru non PNS yang telah diangkat secara tetap oleh yayasan. Cara pengisian nilai, sama persis dengan aturan yang diberlakukan untuk PNS.
Dasar diterbitkannya peraturan penilaian bagi pegawai adalah :
Setiap pegawai ingin memperoleh kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kinerjanya sampai tingkat yang setinggi-tingginya.
Setiap pegawai ingin memperoleh penghargaan apabila ia dinilai dapat melaksanakan tugas dengan baik.Setiap pegawai mendapat perlakuan yang adil dan objektif dalam penilaian pelaksanaan pekerjaannya.Setiap pegawai ingin mengetahui sejauhmana ia telah mampu berprestasi/memberikan sumbangan terhadap organisasi.
Namun demikian, dalam kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Permasalahan yang paling mendasar adalah, antara penilai dan yang dinilai masih dalam satu unit kerja. Sehingga pasti berlaku bias dalam penilaian. Kalau harus dirangkum, ada 3 bagian.
1. Kesetiaan dan kejujuran.
Seorang pegawai negeri harus tunduk, patuh dan menjunjung tinggi falsafah Negara yaitu Pancasila dan UUD45. Kesetiaan ini nilainya harus harus 91 ke atas (amat baik). Kalau kurang dari 91 maka pegawai itu diragukan kesetiaanya pada Pancasila. Boleh dikatakan bahwa sub penilaian kesetiaan tidak ada keraguan bagi penilai untuk membubuhkan nilai 91 ke atas. Biarpun ada bawahan yang jarang mengikuti upacara rutin. Toh masih hafal Pancasila. Mungkin kesetiaan pada organisasi atau lembaga dianggap tidak berhubungan dengan kesetiaan pada Pancasila.
Kejujuran lebih diarahkan pada keikhlasan. Ikhlas untuk melaksanakan pekerjaan. Ikhlas untuk melaksanakan perintah atasan. Kelemahan pada penilaian kejujuran adalah, seberapa besar atau rendah kadar keikhlsan. Tidak ada ukuran yang valid untuk mengukur keikhlasan.
2. Prestasi kerja, tanggungjawab, ketaatan, kerjasam dan prakarsa adalah sub nilai yang mudah untuk dinilai.
Prestasi kerja mudah diukur, yaitu dengan capaian atau target pekerjaan yang harus diselesaikan. Disamping target yang harus diselesaikan, masih ada unsur yang bisa dinilai, yaitu kualitas. Dengan kualitas pekerjaan, penilai dapat membedakan antara pegawai yang hanya kerja seperti mesin dengan pegawai yang lebih mengutamakan efektifitas dan efisiensi.
Penilai akan lebih mudah bila menilai tanggungjawab dari seorang pegawai. Indikator pada sub penilaian ini lebih terperinci. Karena berhubungan langsung dengan target pekerjaan. Satuan pekerjaan yang dibebankan pada pegawai yang dikaitkan dengan waktu. Gradasi nilai dengan mudah diterapkan dalam pekerjaan seorang pegawai.
Ketaatan akan menemui masalah bila melaksanakan peraturan dibuat oleh lembaga sendiri. Kedisiplinan melaksanakan peraturan yang berlaku masih tergolong rendah. Misal, melaksanakan aturan waktu masuk atau pulang kerja. Melaksanakan jam pelajaran yang telah ditetapkan. Saat ini, sekolah lebih sering mengikuti kegiatan di luar.
Kehidupan sosial suatu dalam sebuah lembaga dapat diukur dari keterlibatan pribadi dalam kerjasama untuk mencapai tujuan. Peran individu dalam sebuah kelompok sangat berpengaruh terhadap individu yang lain. Sehingga prestasi kelompok secara tidak langsung berpengaruh terhadap prestasi individu. Seorang penilai, harus bijaksana dalam menilai kerjasama. Sebab individu satu dengan individu yang lain saling berhubungan. Penilai harus sering terlibat langsung dengan setiap pembuatan proyek.
Prakarsa sesungguhnya prestasi pegawai yang patut dinilai. Inisiatif dan kreatifitas pegawai harus senantiasa selalu dipantau. Apabila ada pegawai yang dapat melaksanakan sebuah proyek dengan prinsip efektif dan efisien, haruslah diberi nilai yang tinggi. Menyamaratakan pegawai dalam hal inisiatif bukanlah tindakan yang bijaksana.
Kepemimpinan
Belum ada batasan yang jelas antara inisitif dan kepemimpinan. Belum ada perbedaan yang signifikan antara mentaati peraturan dengan sikap kepemimpinan. Penilai masih terjebak dalam kebiasaan. Bahwa kepemimpinan hanya dimiliki oleh golongan atas. Yang berpangkat rendah masih menjadi obyek. Padahal sesungguhnya kepemimpinan termasuk diantaranya : memberi contoh, bersikap tegas, adil dalam menentukan tindakan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H