Lihat ke Halaman Asli

Sekolah Harus Memiliki Jiwa Dagang

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13453944641216127034

[caption id="attachment_207646" align="aligncenter" width="510" caption="sumber gambar : smumuhi-yog.sch.id"][/caption] Mencermati penuturan Prof. Dr. Ing. Imam Robandi dalam forum (kaget) kepala sekolah di Kota Yogyakarta, menarik untuk disimak. Saya sebutkan kaget karena memang tidak direncanakan secara matang. Satu dan lain hal kesibukan beliau, maka saat lawatan ke Yogyakarta tak disia-siakanoleh kepala sekolah Muhammadiyah se Yogyakarta.

Salah satu yang saya cermati adalah, sekolah mesti memiliki naluri berdagang. Kata dagang lebih tepat dikatakan jualan, sangat tidak lazim bila yang melakukan lembaga pendidikan. Pendidikan, bagi sebagian orang masih merujuk pada institusi sebagai wahana transfer nilai dan ilmu. Sangat jauh bila bersentuhan dengan penjualan. Namun kata pak Robandi, kalau sekolah ingin eksis dilingkungan masyarakat salah satu yang harus dilakukan dengan berjulan.

Ada beberapa produk yang bisa dilakukan dalam melakukan penjualan.

1. Kartu Nama.

Hari gini mungkin ada orang akan tertawa bila dimintai kartu nama. Kartu nama tidak identik dengan jaman digital. Kartu nama mungkin masih pas bila disertakan dengan kado atau amplop untuk menyumbang.

Ternyata anggapan itu keliru. Disaat gadget merambah disetiap sudut kehidupan, kartu nama masih memegang penting sebagai sarana informasi. Dalam sebuah kartu nama terdapat informasi nama, alamat rumah, alamat kantor, mail, dan blog. Sebuah papan nama yang hanya berukuran 90 mm x 55 mm, namun bisa memuat semua informasi pribadi.

2. Majalah.

Meskipun media on-line kemajuannya sangat cepat dan cara memperoleh informasi hanya dengan sekali sentuh, tapi majalah tetap ada di sudut hati tersendiri. Majalah tidak bisa hilang begitu saja. Karena majalah sebagai dokumen tertulis yang bisa dijadikan untuk referensi dalam menulis karya ilmiah misalnya.

Majalah sekolah, disamping sebagai media promosi, majalah juga sebagai wahana untuk mengukur tingkat akdemis. Baik itu siswa, guru ataupun orang yang terlibat secara langsung dengan sekolah yang bersangkutan.

3. Papan Promosi.

Belanja iklan pada perusahaan-perusahaan besar dapat mencapai30% dari total biaya produksi. Artinya, bila sebuah produk diluncurkan dengan memakan biaya 1 milyar, maka biaya promosinya bisa mencapai angka Rp. 300 juta. Karena promosi merupakan salah satu faktor penunjang tingkat penjualan.

Tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan. Jual muka lewat media spanduk, baliho yang diletakkan pada tempat-tempat yang strategis, sangat berpengaruh terhadap input calon siswa baru. Dari pada berselancar lewat web, lebih baik melihat papan nama yang tersebar di pinggir jalan sambil berkendaraan. Bila tertarik, Ia akan mencatat nomor telepon atau web yang bisa dikunjungi.

4. Kalender.

Setiap menjelang tahun baru, saya hampir selalu menerima tidak kurang dari 5 buah kalender. Dari berbagai lembaga, baik perusahaan maupun dari lembaga sosial. Intinya satu. Promosi.

Sekolah memiliki tempat yang strategis sebagai promosi face to face. Mengapa demikian? Karena setiap siswa hampir pasti akan diberi sebuah kalender yang lengkap dengan sarana dan macam kegiatan dalam satu tahun. Diharapkan siswa akan memasang kalender di rumah masing-masing. Bila dalam satu rumah ada 5 orang, berarti ada 4 orang akan melihat kalender sekolah. Kalau di sekolah ada 400 siswa berarti ada 2000 pasang mata akan menatap kalender sekolah. Belum lagi bila ada sanak saudara atau tamu yang berkunjung ke rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline