Lihat ke Halaman Asli

Belajar Sejarah (2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti yang sudah saya tulis kemarin, bahwa belajar sejarah memang mengasyikkan, dan banyak hal yang dapat kita peroleh. Baik sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai kisah maupun sejarah sebagai peletak dasar munculnya dongeng.

Saya senang membaca sejarah justru bukan dari ilmu sejarah murni, namun dari novel-novel yang berlatar belakang sebuah peristiwa. Karena cerita yang dibangun telah dibumbui dengan karya sastra, sehingga peristiwa sejarahnya sendiri menjadi bias. Atau kejadian masa lampu telah dikembangkan dengan bumbu-bumbu tertentu (sesuai selera penulis) namun hasil akhir orang tetap tertarik dengan bacaan itu.

Saya sendiri tertarik dengan kajian sejarah. Biarpun penulisan sejarah itu sudah tidak murni lagi dalam menginformasikan kejadian, tapi saya dapat menarik tali simpul dari sana-sini, dapat menghubungkan peristiwa satu dengan yang lain, sehingga saya percaya terhadap peristiwa tertentu, tapi sekaligus tidak percaya tulisan yang bernada profokasi.

Buku yang sempat menjadikan saya tertarik dengan sejarah antara lain karya :

1. Trias Kuncahyono

Salah satu bukunya “Jerusalem”. Bercerita panjang lebar tentang kemunculan agama-agama samawi (agama langit). Namun jangan salah paham beliau akan mengupas tentang agama. Justru yang menarik bagi saya adalah, perjalanan sejarah orang yang mengaku beragama. Ia bertutur juga tentang kebudayaan yang dianut oleh suatu kaum. Bila membaca buku ini, kita akan sedikit mengetahui mana adat istiadat, mana kebudayaan dan mana perintah agama. Bila mana kita sudah dapat membedakan, maka sebenarnya tidak perlu ada konflik yang berkepanjangan antar saudara. Tidak perlu ada orang yang bangga sebagai orang mati syahid (bedakan dengan mati sia-sia) hanya karena kepercayaan yang belum tentu perintah agama.

2. Umar Kayam dan Ahmad Tohari

Dua buah buku karya Umar Kayam adalah “Para Priyayi” dan Jalan “Menikung”. Buku tersebut bercerita tentang perjalanan sebuah keluarga untuk mendapatkan status priyayi. Sebuah strata sosial yang diagungkan saat itu dalam komunitas di jawa, khususnya Yogyakarta dan Surakarta. Dua buah kota yang dianggap sebagai pusat kekuasaan sekaligus pusat kebudayaan kala itu. Saya menjadi tahu sedikit tentang budaya priyayi. Menjadi sedikit lebih tahu siapa sebenarnya yang disebut priyayi. Masih layakkah menyandang priyayi, saat kehidupan sekarang semakin majemuk. Ada pembelajaran yang sangat penting bila dihubungkan dengan tata pergaulan dalam bermasyarakat.

Ahmad Tohari menulis novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” bercerita tentang perjalanan seorang gadis desa yang berprofesi sebagai penari ronggeng tapi berakhir dengan kepedihan karena dianggap mengikuti partai terlarang. Kehidupan didesa yang masih serba terbatas. Ekonomi yang kurang bias menopang untuk hidup, ilmu yang masih terbatas, sehingga wajar, bila menggantungkan pada benda-benda yang dianggap keramat.

Novel yang pernah menjadi kajian wajib bagi mahasiswa sastra, berisi tentang eksploitasi manusia. Orang desa yang tidak pernah tahu dan sedikitpun tidak belajar tentang politik, tapi menjadi korban politik. Membaca novel ini, menjadi lebih tahu perihal partai politik yang tidak pernah ramah kepada manusia.

3. Remy Silado

Saya lebih pas menyebut beliau special novel bermata sipit. Karena tulisannya memang berkisah sejarah orang jepang dan cina pada masa lampau. Dari buku-buku yang ia tulis, banyak mengungkap peristiwa sejarah berlatar belakang pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Adapun orang cina dimanfaatkan oleh kompeni sebagai mitra kerja. Karena seperti yang kita ketahui bahwa orang cina pandai berdagang.

Demikian juga pada novel “Pangeran Diponegoro”, yang oleh penulis bahwa Diponegoro adalah orang yang lurus, mengabdi kepada raja yang sah, dan cinta dengan rakyat. Justru dengan sikap yang istiqomah itulah dimanfaatkan oleh kompeni dengan tipu muslihatnya.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline