Lihat ke Halaman Asli

Kecerdasan : Lahir dari Komentar

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13040634511669464667

[caption id="attachment_105946" align="aligncenter" width="614" caption="(airilbublez.blogspot.com)"][/caption] Tulisan ini lahir setelah tulisan saya sebelumnya tentang kecerdasan. Mengapa saya harus menulis tentang kecerdasan, karena tulisan kemarin ditanggapi dari kebingungan  Pak Thamrin dan juga nada pesimis pak Adyanto Aditomo.Pak Thamrin bertanya tentang kecerdasan (IQ) yang menurut pengakuan beliau adalah awam. Sekalipun latar belakang saya bukan psikolog, tapi ladang garapannya menyangkut siswa, dan saya turut andil sedikit dalam dunia pendidikan, maka saya akan mencoba menyingkap arti kecerdasan. Modal saya adalah searching lewat google, sebuah buku “Sekolahnya Manusia”, dan buku “Menciptakan Generasi yang Cerdas”. Sebagai rujukan utama adalah buku sekolahnya manusia, karena dalam buku itu adalah keberhasilan sebuah SMP YIMI Full Day School Gresik dalam menerapkan teori Multiple Intellegences System (MIS).

Definisi Cerdas

[caption id="attachment_105948" align="alignleft" width="150" caption="buku karya munif chatib"][/caption] Hingga kini belum ada kesepakatan mengenai definisi kecerdasan. Sebab manusia terus berkembang sejalan dengan waktu. Dahulu, penemuan tes IQ sangat dikagumi, bahkan sebagai alat ukur untuk masuk sekolah ataupun kuliah. Waktulah yang membuktikan. Ternyata tes IQ yang diandalkan untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang, ternyata memiliki banyak kelemahan.

Teori kecerdasan yang ditawarkan oleh Plato, Aristoteles, Darwin hingga Howard Gardner, ternyata kecerdasan ditentukan oleh faktor situasi dan kondisi yang terjadi pada saat teori tersebut muncul. Sehingga makna kecerdasan sangatlah bergantung pada banyaknya kepentingan eksternal dan hakikat kecerdasan itu sendiri. Teori kecerdasan yang dicetuskan Gardner, muncul pada tahun 80an hingga kini masih menyita perhatian dari peneliti sampai peminat psikologi. Ada 3 (tiga) faktor dasar yang diubah oleh Gardner :

1. Kecerdasan Tidak Dibatasi Tes Formal

Kecerdasan seseorang tidak mungkin dibatasi oleh indicator yang ada dalam tes formal, sebab kecerdasan sesorang itu selalu berkembang (dinamis). Tes yang dilakukan hanya terjadi pada saat itu. Bagaimana kondisi esok hari, seminggu atau 3 tahun kedepan?

Tesis ini muncul untuk mengkritik teori kecerdasan dengan menggunakan tes IQ yang muncul pada awal tahun 1970, yang dibuat oleh Alferd Binet. Dalam waktu, ruang dan keadaan tertentu tes IQ masih digunakan sebagai bahan seleksi calon pegawai. Bisa juga digunakan sebagai sarana pembanding dengan tes lainnya.

2. Kecerdasan itu Multidimensi

Setelah tes IQ dikritik karena hanya mengandalkan unsur kemampuan otak semata, muncullah tes EQ (Emotional Quotient) yang dibuat oleh Daniel Golemen dan Adversity Quotient oleh Paul Scholtz. Tes inipun tak luput dari badai kritik, karena belum semua unsur yang dimiliki manusia terwakili dalam tes. Sehingga Gardner menawarkan multiple (jamak atau majemuk) yang memungkinkan ranah kecerdasan terus berkembang. Semula hanya 6 (enam) kecerdasan (ketika pertama kali konsep ini diterbitkan), tapi sekarang sudah menjadi 9 (Sembilan).

3. Kecerdasan, Proses Discovering Ability

Setiap orang diyakini, pasti mempunyai kecenderungan kecerdasan tertentu. Kecenderungan inilah yang harus dicari melalui pencarian kecerdasan. Proses penemuan yang dilakukan seseorang, itulah yang dimaknai sebagai kecerdasan.

Secara sederhana, mengukur kecerdasan sebenarnya mudah. Manakala seseorang berbuat, dan dengan perbuatan tersebut bermanfaat buat orang lain, maka orang tersebut bisa dikatakan cerdas. Bagi saya, yang kesehariannya berhadapan dengan siswa, menilai kecerdasan yang berdasarkan pada kemampuan matematik, linguistic, kepribadian adalah mudah. Karena ada alat ukur yang sudah standar.

[caption id="attachment_105947" align="alignleft" width="150" caption="Debby (doc. pribadi)"][/caption] Saya jarang menjumpai siswa maupun mantan siswa yang cerdas dalam bidang seni tradisional dan ketrampilan kinetis, karena alat ukurnya masih subyektif. Seperti yang dilakukan Debbi yang menekuni sinden (penyanyi dalam karawitan), disaat rekan-rekan lebih menikmati hingar bingar pertunjukan band.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline