Lihat ke Halaman Asli

Mengapresiasikan Seni Tari

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_324216" align="aligncenter" width="512" caption="koleksi pribadi"][/caption] Sabtu malam. Beberapa pekan lalu, saya berkesempatan untuk melihat pagelaran seni tari yang dikemas dalam "Geliat Nusantara : dalam koreografi 3". Acara ini digeber oleh mahasiswa Seni Tari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Tontonan rutin saban tahun, setiap jelang akhir tahun pelajaran. Meskipun tidak tiap tahun saya melihat kreasi seni tari, namun tetap mengikuti perkembangannya. Yang saya maksud perkembangan, hanyalah sebatas penyelenggaraannya saja. Sebab saya buta terhadap sebangsa tari, joget, ajojing atau sebangsanya. Hanya orang-orang yang ahli saja yang dapat menilai keindahan sebuah seni tari. Jika mengapresiasikan, siapapun boleh. Pertunjukan tari ini merupakan tugas akhir. Karena penyelenggaraan seni tari ini memerlukan budget yang besar, maka diberi keleluasaan untuk membentuk grup yang terdiri dua mahasiswa. Mereka bukan hanya menyiapkan kreatifitas tari, tapi yang mesti harus dipersiapkan : kostum, latihan, uang transport asisten tari, pemusik, sound system, sewa gedung dll. Kali ini saya menyaksikan pagelaran tari ini dengan membawa sejumlah siswa yang tergabung dalam ekstra kurikuler seni tari. Harapannya agar siswa mengetahui perkembangan seni tari, kegiatan pendukung tari, seperti seperangkat music, manajemen pengelolaan pertunjukan. Saya bawa kea lam mimpi terlebih dahulu. Karena dari impian, setidaknya satu langkah ke depan dalam meraih cita-cita. Karena lakon yang dipentaskan, saya hanya menyaksikan kira-kira 7 tari. Yang bisa saya abadikan hanya 4.

BATINGNA LEBONNA

[caption id="attachment_324217" align="aligncenter" width="300" caption="koleksi pribadi"][/caption] Kisah sejati Lebonna dan Massudilalong yang diangkat dari cerita rakyat yang berujung pada kematian Lebonna yang tragis demi memenuhi janji setianya terhadap Massudidalong. Dodeng Mangrambi Mandedek, Dodeng ma'pa tuang-tuang, rampanampi padedekmu, annapi te kamali'ku. Ammu parangina mati. Ammu tanding talingana'... prampoanpa kadungku, pepasan mase-maseku, lako to Massudilalong muane sangkalamma'ku.... Angku dol, angku mete,  tae' si la matane lasisarak sunga'na ulli'-ulli' soladuka borro sito'doan duka... o Rendengku... Mukua duka la sang mateki e so'ee... Paerengan o... Rendengku. (yang bisa terjemahkan sendiri)

BRONSAGER

[caption id="attachment_324219" align="aligncenter" width="300" caption="koleksi pribadi"][/caption] Yang namanya kreatifitas diamanapun bisa dilakukan. Tari ini dilakukan oleh ibu-ibu di dapur. Nunsa yang disajikan suasana dapur tradisional. Tidak ada barang elektrik. Bronsager diambil dari kata bahasa inggris "Brown" dan "Sugar" yang artinya gula coklat. Tari ini menggambarkan produktifitas masyarakat dalam membuat gula semut. Tepatnya di daerah Kulon Progo. Karena di pedesaan maka kebersamaan menjadi menu utama. "Temandhang gawe sayuk rukun, ojo podo padu maranbg konco sak pegawean" (tafsirnya : Mari bekerja secara bersama-sama. Jangan berbuat onar dan cekcok dengan sesamanya)

WURASMARA

[caption id="attachment_324221" align="aligncenter" width="300" caption="koleksi pribadi"][/caption] Damarwulan. Wanita mana yang tidak kepincut, termehek-mehek dengan Damarwulan? Tari ini digambarkan bahwa Damarwulan merupakan pemecah persahabatan dua wanita yang saling setia, kebersamaan dalam suka, yaitu Wahito dan Puyengan. Tak salah bila ada  kalimat satir yang dilontarkan di akhir cerita. Damarwulan.... Ksatria pemikat hati dua dewi. Wahai Damarwulan..... Aku mabuk cintamu hingga lupa daratan.

BEDAH ALAS LODOYO

[caption id="attachment_324222" align="aligncenter" width="300" caption="koleksi pribadi"][/caption] Inilah tari yang paling energik. Glamour. Musiknya rancak. Pendukungnya luar biasa. Tidak sia-sia meski harus membawa topeng reog yang beratnya lebih dari 20 kg. Cerita kepahlawanan yang diangkat dari tanah Kediri. Cerita ini berawal dari Raja Ponorogo (Klono Sewandono) yang berniat melamar putri Kediri (Dewi Songgolangit) namun ditengah perjalanan tepatnya di alas Lodoyo, Ia dicegat oleh raja Singobarong. Dan terjadilah peperangan anatara kedua raja tersebut. Akhirnya peperangan dimenangkan oleh Raja Klono Sewandono.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline