Abu Nasr al Farabi, demikian nama lengkapnya. Lahir pada tahun 870 M atau 258 H. Beliau termasuk filosof muslim yang hidup pada abad 10. Lahir di Wasij, sebuah dusun dekat Farab, di Transoxiana, termasuk Negara Turki. Menurut murid-muridnya, al Farabi termasuk aneh. Karena umumnya filosof jaman dahulu, menuliskan biografinya sendiri atau murid pengagumnya. Beliau tidak mau mengisahkan kehidupan pribadi untuk konsumsi publik, baik sebagai salah satu sumber sejarah maupun kekayaan khasanah muslim.
Dalam pencarian menimba ilmu, ia lebih senang menetap di Baghdad sebagai pusat belajar yang terkemuka. Disana ia berjumpa dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya filosof dan penerjemah. Tertarik pada bidang logika, maka ia langsung belajar dari ahli logika yang terkenal yaitu Abu Bisyr Matta ibn Yusnus. Dalam perjalanan mempelajari logika ternyata ia mampu mengungguli gurunya. Di kalangan filosof, terutama Ibn Khaldun, al-Farabi dijuluki dengan “guru kedua’. Guru pertama disematkan pada Aristoteles.
Guru pertama dipandang mampu meluruskan dan mengumpulkan kajian-kajian dalam logika dan permasalahannya. Guru kedua dipandang karena mengarang buku, mengumpulkan, dan menyempurnakan terjemahan karya Aristoteles.
Di Baghdad al Farabi tinggal selama duapuluh tahun. Kemudian beliau tertarik untuk bergabung dengan kaum intelektual di pusat kebudayaan Aleppo. Tempat ini terkenal dengan istananya Saif al Daulah. Rindang, nyaman dan serba berkecukupan. Namun demikian, beliau tidak silau dengan lingkungan istana yang kemilau. Ia bekerja dengan menulis artikel dan buku-bukunya dibawah gemericik air sungai dan di bawah dedaunan yang rindang.
Suasana pusat kebudayaan yang menjunjung tinggi perbedaan pendapat tanpa mengambil keuntungan pribadi. Meski ada simpati yang kuat dan cenderung kearaban dari istana, namun tidak terjadi kelompok-kelompok tertentu. Orang-orang Persia, Turki dan Arab saling berdiskusi dan berdebat. Mereka berasal dari kalangan sarjana, para penyair, ahli bahasa, filosof, dan cerdik pandai lainnya.
Karya-karyanya.
Menurut penulis biografi seperti al Qifti atau Abu Usaibi’ah, al Farabi telah menulis artikel sejumlah 70 an buah. Di masanya, jumlah tersebut tergolong kecil dari segi kwantitas. Bagaimanapun juga al Farabi telah memperoleh gelar guru kedua dalam bidang filsafat. Pencapaian yang luar biasa dedikasinya dalam mengembangkan ilmu filsafat.
Karya al Farabi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu logika dan filsafat. Logika menyangkut bagian-bagian dari organon-nya Aristoteles. Menurutnya, logika mempunyai kedudukan yang mudah dimengerti, sebagimana hubungan antara tata bahasa dengan kata-kata, dan ilmu mantra dengan syair.
Logika juga membantu kita membedakan yang benar dan yang salah dan memperoleh cara yang benar dalam berfikir atau dalam menunjukkan orang lain kepada cara ini. Ia juga menunjukkan dari mana kita mulai berfikir dan bagaimana mengarahkan pikiran itu kepada kesimpulan-kesimpulan akhir.
Karya kedua filsafat. Al Farabi berpendapat bahwa pada hakikatnya filsafat merupakan satu kesatuan. Karena itu, para filosof besar harus menyetujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran. Al Farabi berpendapat bahwa hanya ada satu aliran filsafat, yaitu aliran kebenaran.
Menurut al Farabi, tujuan akhir dari hal-hal di atasadalah mengetahui pencipta Sang Khalik, mengetahui bahwa Dia-lah satu-satunya yang tidak bergerak. Dia-lah sebab pertama bagi adanya segala hal. Dia-lah yang mengatur alam semesta ini dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya.
Sumber bacaan :
Para Filosof Muslim. Editor : M.M. Syarif, MA
Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Husayn Ahmad Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H