Lihat ke Halaman Asli

Affa Esens

@affa_esens

Isyarat Duka

Diperbarui: 24 Juli 2021   23:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Affa Esens

Dalam dua minggu terakhir, hujan mulai mengguyur tanah kami. Sungguh anugerah luar biasa setelah bulan-bulan kemarau yang panjang. Dalam bahasa jawa, kata 'hujan' disebut dengan 'jawah' yang memiliki keterkaitan dengan kalimat bahasa arab; ja'a romatullah, datangnya rahmat dari Allah. Maka aku percaya, mendungnya menanggung duka, setiap tetes airnya menyembunyikan luka. Dan tidak akan ada kesedihan setelah hujan reda.

            Sore itu, setelah pengajian rutin di masjid, aku beranjak menuju sungai yang berada tidak jauh dari halaman belakang pesantren. Angin segar menghembuskan kebebasan, dedaunan meliuk-liuk tak beraturan, senada dengan buliran air yang berjatuhan. Sampai disana, aku tak sabar untuk segera menceburkan diri ke bibir sungai yang deras. Maka, segera kulepas songkok, kemeja, lalu kaus, kemudian sarung, kusampirkan ditangkai pohon lamtoro. Dan menyisakan celana pendek sebatas lutut yang tetap kukenakan.     

            Air yang berwarna coklat tak sedikitpun membuatku urung menyelami kedalamannya. Bersama riak-riak air itu, aku bersenandung. Mengukung maksud-maksud jahat setan yang kemungkinan akan semakin rakus. Perkataan Kiki meliputi fikiranku sekarang. "Pada setiap keburukan, pasti ada kebaikan".  

            Aku dan Kiki sudah seperti sepasang burung dara. Begitu kata teman-teman. Kami memang kerap menyusun rencana sebelum melakukan sesuatu. Kami lebih sering berdua; belajar, diskusi, sema'an hafalan nadzom, bahkan soal mandi-pun kami sudah sepakat menjadwalkannya.

             "Kalian lanangan ya?". Itu kalimat pertama yang kudengar setelah aku dan Kiki berpelukan ketika dia baru kembali dari pulang karena sakit. Padahal ini biasa dilakukan Ayah dan temannya ketika bertemu. Guru sepuh juga berpelukan ketika bertemu dengan beberapa kyai luar daerah. lanangan apanya? Bantahku. Bukankah ini merupakan sunnah Rosul?

Dulu, ketika sahabat Zaid bin Haritsah baru tiba di kota Madinah, ia langsung menuju rumah sayyidah 'Aisyah yang Rosul berada disana. Sahabat Zaid mengetuk pintu rumah mulia itu, dan dibukakan oleh Rosulullah. Segera, sahabat Zaid menarik-narik jubah Rosul untuk kemudian memeluknya erat-erat dan mencium tangan beliau.

***

Langit semakin gelap. Sudut-sudut pesantren juga kian meredup. Hujan yang semula deras kini mulai reda. Suara adzan bersahutan terdengar samar-samar dan sesaat kemudian  lantang suara mu'adzin pondok menyeruak. Kiki beringsut dibalik selimut. Aku menghampirinya. "Ki, ayo berangkat, Ki. Sudah maghrib!"

Tidak ada respon. Aku juga tidak tahu sejak kapan Kiki mlungker begini. Setahuku, tidak ada nyanyian yang paling dia suka selain pujian waktu maghrib.

#

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline