Pertanyaan terbesar saya ketika tahun pertama menulis puisi adalah: "Bagaimana puisi yang bagus itu?" Ini juga dialami rekan-rekan menulis saya yang mengaku sama. Sehingga di antara nyenyaknya puisi, pertanyaan itu serupa fatamorgana dalam perjalanan panjang suatu masa.
Sehingga, banyak kesempatan saya buat sedemikian rupa agar 'makna' puisi bisa terungkap dalam kepala saya. Mulai dari inbox akun media sosial penulis-penulis, ikut serta seminar, bahkan searching google dan youtube. Kemudian, yang saya temukan sungguh membagongkan. Bahwa kriteria puisi bagus, terletak pada siapa yang menulis dan siapa yang membacanya. Begini,
Dalam satu kesempatan saya menyimak pemaparan Aan mansyur soal puisi. Penyair rilis berkaca mata itu mengatakan bahwa: puisi umpama rumah yang dibangun dari pertanyaan-pertanyaan. Siapapun boleh masuk dan bebas memilih, kira-kira jawaban mana yang paling mewakili.
Ditambah penjelasan dari Eyang Sapardi. Ia mengatakan bahwa puisi yang bagus adalah puisi yang mudah dibaca. Simpel sekali. Tapi sang maestro menambahkan bahwa orang yang sedang emosi dan marah tidak boleh menulis puisi. "Kalau mau meluapkan emosi dan marah-marah mending ikut demo saja".
Eyang memberi tunjuk satu puisinya yang melegenda dalam benak saya, "Dongeng Marsinah". Menceritakan tentang Marsinah, Buruh pabrik yang memperjuangkan haknya namun berakhir mala. Puisi itu ditulis selama tiga tahun. Bayangkan, tiga tahun. Itu terjadi sebab setiap kali Eyang melanjutkan puisinya, ia marah. Setelah tenang, saat mau nulis ternyata emosinya naik lagi. Begitu terus sampai tiga tahun. Tapi bisa kita lihat betapa indah diksi dan dalamnya puisi itu. Semacam ndue nyoni. Wkwk
Berangkat dari kedua penyair ini, gairah puisi saya kembali stabil. Belenggu aturan dan segala titik-bengik puisi seketika lepas sebab pernyataan Eyang dan logika Aan. Kendati demikian, seperti yang dituliskan Acep Zam-Zam Nor dalam buku Menjadi Sisifus, menulis puisi tidak bisa dikatakan mudah begitu saja.
Menulis puisi itu mudah dan sulit. Menulis puisi bukan hanya menceritakan apa yang kita piker dan rasakan kemudia dibaca dan dielu-elukan banyak orang. Bukan. Menulis puisi, sejalan dengan membangun-pertahankan peradaban. Perlu adanya keterkaitan-keterkaitan antara penulis, lingkungan dan gejala-gejalanya.
Jauh dari pemahaman saya yang berbelit-belit jika terus saya tuliskan. Coba baca buku Eyang yang berjudul "Bilang Begini, Maksudnya Begitu", atau buku kumpulan esai milik Acep Zam-Zam Nor yang berjudul "Menjadi Sisifus", dan banyak buku apresiasi puisi lain yang tentu akan membuat kita semain melek tentang Tarik-hembus dunia perpuisian.
Tapi yang terpenting bahwa, menulis puisi itu mudah. Dan usah risau tentang bagaimana puisi yang bagus. Sebab puisi yang bagus adalah puisi yang mudah dibaca. Menulis, membaca, dan ulet. Maka, proses pemahaman kita tentang puisi akan tumbuh dengan sendirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H