Lihat ke Halaman Asli

Affa 88

Freelancer, Social Activist, Nahdliyin

Dari Mata Air Hingga Segelas Kopi

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ada seorang teman yang semi skeptis selalu santai dalam menjalani kehidupannya. Dalam hal mengalami sebuah cobaan misalnya, dia selalu bilang ah santai aja bro. Dalam beberapa episode kehidupannya, setahuku dia jarang terlihat stress atau depresi. Saya tertarik untuk lebih dekat darinya. Sangat rileks dan tetap berprinsip enjoy your life.

Dalam sebuah obrolan singkat tapi padat, saya menyerap beberapa ringkasan gaya, cara dan prinsip hidup yang kemudian diimplikasikan dalam refleksi bernafas di dunia ini. Ketika saya menanyakan kenapa anda bisa sesantai ini menjalani hidup yang berhaluan terhadap nasib? Dia dalam senyumnya menjawab, saya hanya ingin menjalani hidup seperti air mengalir. Umm, kata-kata yang familier terucap dari seorang motivator. Hiduplah seperti air mengalir, jalani saja, dan nikmati saja apa yang diberikan oleh Pencipta. Saya suka itu.

Namun, saya dalam renungan dan pemikiran kadang merasa prinsip air mengalir tidak selalu relevan untuk berjalan di atas rel kehidupan. Saya sendiri mengalaminya. Dalam sebuah luang waktu saya mencoba menggambar sketsa tentang air mengalir. Saya ibaratkan diri ini sebuah titik mata air yang sedang keluar dari puncak gunung. Suci, bening dan segar. Persis ketika kita menjumpai anak baru lahir dari rahim ibunya. Butiran air yang bening itu belum tercampur oleh kotoran layaknya dosa yang belum dikenal di hati suci sang bayi. Butiran air kemudian mengalir seiring aliran sungai-sungai tajam pegunungan. Dan refleksinya, sang bayi sedang belajar berbicara, berjalan dan makan. Masa balita sang bayi dalam proses mengenal sesuatu memang sangat tajam. Tajam karena letak kemampuan otak sang bayi diasah di masa ini. Masa dimana butiran air mengalir cukup tajam setajam mata bayi melihat, setajam telinga bayi mendengar dan  setajam teriakan tangis. Karena tajamnya aliran air di gunung yang kadang menciptakan panorama air terjun membuat air sangat sulit tertempel oleh kotoran-kotoran yang mungkin sudah terparkir pada pinggiran sungai. Ini bukti bahwa balita sangat sulit mengenal dosa. Dan ketika balita melakukan dosa, agama pun belum berani memvonisnya.

Lerang gunung adalah lingkungan dimana wilayah pegunungan mulai dimukimi oleh penduduk. Dan itu manusia, entah menusia asli atau pendatang. Dan fenomena mulai nampak, sungai mulai keruh dan cabang sungai mulai bermacam-macam. Kemudian masa SD hingga masa SMP adalah masa dimana bayi mulai mengenal dosa, sudah mengerti mana benar mana salah, dan tentu dalam lingkungan yang sudah penuh hiruk pikuk yakni faktor eksternal yang kadang sangat tidak cocok untuk pergaluan sang manusia suci tadi.

Dan ibaratkan atau mengandai-andai jika kita selalu mengikuti prinsip air mengalir. Kita manut dan ngikut aja. Singkatnya kita umpamakan seorang ibu tengah mengambil air di sungai untuk dimasak. Kita (sebagai butiran air) ikut dalam ember sang ibu. Kita sudah tidak bebas lagi kan?. Lingkungan kita dan sekitar kita hanya dalam ember. Persis ketika sang bayi masuk pendidikan kuliah mana yang menerimanya. Komunitas sangat terbatas. Pelajaran tidak ekstended seperti waktu SD, SMP atau SMA.

Sang ibu akan memasak air dan kebetulan salah satunya kita. Kemudian kita menjadi matang dan siap menjadi energi manusia lainnya. Sudah tidak suci lagi karena bercampur dengan uap air.  Ini adalah masa dimana bayi masuk ranah pekerjaan. Sudah tidak suci lagi karena bercampur dengan dunia. Di sini sudah tidak cocok membicarakan dosa atau belum karena tak mungkin air panas matang dibuat untuk bersuci. Karena sudah tidak suci.

Dan ketika kita belum bergerak untuk masih mengikuti aliran air atau pilihan pekerjaan yang terpilih dengan sendirinya, maka bisa saya uraikan lagi sketsa saya. Ibaratkan ibu mau membuat kopi untuk sang bapak. Kita tahu kopi itu kental, hitam, kotor, meskipun kadang nikmat. Dan sialnya kita (butiran air ) terpilih oleh nasib menjadi bagian yang dituangkan dari porong ke gelas. Sudah tentu kita menjadi bagian dari kopi kental bercampur bahan-bahan lainnya. Bisa dibayangkan kan?. Sang bayi telah mengalir dalam aliran kehidupan yang terbatas, kotor, kental dengan hitamnya dunia.

Sudah cukup sketsa saya malam itu dan tak saya lanjutkan. Saya akhirnya paham bahwa kadang memang perlu kita santai dalam hidup ini. Toh rizki hidup, jodoh, mati sudah ada yang mengaturnya. Saya merasakan yang pertama. Meskipun saya psimis dengan jalan hidup pekerjaan saya. Prestasi biasa di SMA, malas belajar dan harapan masa depan yang kosong justru saya dituntun Tuhan untuk menjadi pegawai negeri yang mana rizki mau tidak mau sudah selalu memenuhi rekening tabungan saya. Untuk yang satu ini, saya mengikuti prinsip air mengalir dengan tidak tak terbatas aias acara bisa berubah sewaktu-waktu. Selama ini saya enjoy menikmati hidup dan pekerjaan saya. Merasa kecukupan dan nyaman. Namun, bagi pejiwa bisnis, saya sarankan jangan memakai prinsip air mengalir. Karena jiwa pebisnis adalah pemberani, serius, dan berani mengambil resiko.

Sedangkan yang kedua. Saya mencoba untuk memakai prinsip ini juga. Tapi rasa-rasanya saya bagaikan sedang dimasak oleh ibuk dalam kompornya. Tak tahu mau dijadikan kopi apa teh. Saya belum menemukan yang saya cari. Jodoh adalah sudah tersedia di dunia ini. Dan naïf jika saya laki-laki tidak menentang arah air mengalir, tidak menentang gaya gravitasi. Saya harus berjuang menemukan dan mencari cinta sejati yang tak tahu siapa.

Untuk yang ketiga, berharap setiap ulang tahun kita syukuran, berdoa agar usia kita barokah dan diberikan umur yang panjang. Intinya doa ini mengiringi air mengalir juga. Semoga kita menjadi air yang bermanfaat dan beguna bagi makhluk lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline