Lihat ke Halaman Asli

Pengamat Politik Tidak Lagi Netral, Rakyat Kehilangan Pegangan

Diperbarui: 21 Februari 2016   12:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Semenjak bergulirya reformasi di negeri ini, pengamat menjadi salah satu yang paling dicari dan komentarnya selalu dinanti oleh rakyat sebagai salah saferensi yang dipercaya karena masih netral atau tidak berpihak. Pengamat seperti mendapatkan panggung setelah sekian lama dibungkam di masa orde baru. Media-media memberi ruang untuk mereka bicara sesuai dengan keilmuan masing-masing. Panggung yag paling besar dimiliki oleh pengamat politik.

Para pengamat tumbuh baik dari kalangan seperti akademisi dengan kapsitas keilmuan yang tidak diragukan, para aktivis yang kritis, para profesional dan sampai mahasiswa dengan idealisme yang membara. Awalnya ini berjalan sangat menarik sehingga pengamat bisa menjadi referensi bagi masyarakat awam yang tidak punya pendidikan politik, maklumlah pendidikan politik di Indonesia sangat dibatasi.

Tetapi seiring berjalannya waktu, para pengamat ternyata mulai memperlihatkan mukanya sebenarnya. Satu persatu mereka mulai berpihak dan terbawa arus.

“Ternyata bermain bola jauh lebih menarik dari pada jadi komentator” begitulah kalimat yang tepat untuk mereka. Walaupun setelah mereka terjun kelapangan, ternyata tidak semudah yang mereka lihat.

Sebut saja beberapa nama  yang populer di pemerintahan dan parlemen dan juga yang menjadi pengurus partai dimana mereka memulai sebagai pengamat dan aktivis. Ada Fadli Zon, Bima Arya, Indra J. Piliang dan seterusnya.

Buat saya yang paling mengecewakan ketika Bang Indra J piliang memutuskan untuk memihak salah satu kandidat dalam pilpres 2014 yang lalu. Padahal dia mempunyai analisa yang luar biasa dalam melihat peta perpolitikan Indonesai. Ketika pasangan yang didukung kalah, dan pada akhirnya di partai juga dibuang, sekarang Bang Indra entah dimana. Padahal, jika dia tetap dalam posisi netral. Pastilah komentar dan analisa politiknya sangat diperlukan oleh rakyat Indonesia saat ini. Tapi apa daya, mungkin janji jabatan atau posisi menyilaukan mata Bang Indra.

Lain cerita dengan Bima Arya yang berhasi menjadi Wali Kota Bogor. Dan juga Fadli Zon yang garang menentang orba, sekarang menjadi tangan kanan penguasa orba.

Saat ini perhatian politik di Indonesia tertuju pada pentas politik ibu kota. Ketika pertarungan antar kandidat belum dimulai, pertarungan antar pendukung telah dimulai dan bahkan lebih dahsyat dari perang sebenarnya. Medan tempurnya di media sosial.

Melihat pertempuran sengit yang maha dahsyat dengan bersenjatakan kata-kata mulai dari bahasa yang santun, sampai dengan makian dan hinaan yang berbau SARA, rakyat sebagai penonton dan yang akan menentukan pilihan terlihat bingung dengan suguhan masing-masing  pendukung yang kadang-kadang dibumbui tipu daya dan fitnah untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Saat itulah rakyat membutuhkan referensi yang dipercaya, refensi yang netral, informatif dan mendidik. Media yang diharapkan sebagai corong informasi dikuasai petinggi partai. Harapan tinggal pada pengamat. Tetapi para pengamat sudah beralih profesi menjadi pengurus partai.  Meskipun masih ada beberapa nama seperti Burhanuddin Muhtadi, tapi dengan latar belakang lembaga survey yang rentan terhadap kepentingan sponsor, juga mulai diragukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline