Rumah sembahyang keluarga Han, terletak di jalan karet 72, Surabaya. Dibangun tahun 1876 oleh Han Bwee Kho. Dalam rumah ini ada altar leluhur yang berisikan Sin ci (papan puja) leluhurnya. Gaya yang digunakan pada arsitektur rumah abu ini adalah gabungan antara arsitektur Jawa, Tionghoa dan Belanda (Indische Empire).
Keluarga Han, pada awal kedatangannya mendarat di Lasem. Han Siong Kong yang berasal dari prefektur Tian Bao di Fu Jian merupakan cikal bakal keluarga Han di Surabaya. Keluarga mereka di Tiongkok termasuk keluarga berada. Sampai saat ini, rumah abu keluarga Han masih tetap dipakai untuk tempat bersembahyang bersama dan menjadi tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga Han pada acara-acara hari peringatan tertentu.
Keluarga ini dikenal dekat dengan VOC. Tak heran, bisnisnya lancar. Mulai tebu, karet, hingga gula. Jabatan pun mudah diraih. Yakni, sebagai Kapitein der Chinezen. Pejabat Tionghoa yang diberi wewenang mengatur pecinan. Posisi Rumah Abu Han juga sangat strategis., menghadap Kalimas. Terletak di Chinezevoorstraat.
Artinya kira-kira: jalan utama pecinan. Pada zaman Orde Lama, jalan itu disebut sebagai Petjinan Koelon. Kini menjadi Jalan Karet. Rumah Abu Han juga cukup dekat dengan Jembatan Merah. Artinya, menyeberang sedikit saja, sudah sampai ke kawasan kota lama, kawasan Eropa pada zaman kolonial. Keluarga Han ini sangat berpengaruh di era kolonial karena alasan strata sosial ekonomi, dan kekuasaan.
Di masa Orde Baru, berbagai kegiatan yang berbau Tionghoa dilarang, sehingga rumah nenek moyang ini menjadi terlihat mati. Selama Orde Lama dan Orde Baru, warga etnis Tionghoa mengalami perlakukan diskriminatif. Misalnya, adanya keputusan yang dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 10 Tahun 1959 di era Orde Lama berisi tentang larangan terhadap etnis Tionghoa melakukan perdagangan di daerah pedesaan.
Kemudian di era rezim Orde Baru, juga ada larangan atas segala sesuatu yang berbau Tionghoa. Misalnya yang terkait dengan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967. Karena dampak kebijakan politik inilah banyak kegiatan dan tradisi yang bersifat Tionghoa menjadi mati. Salah satunya juga berdampak kepada rumah nenek moyang keluarga Han, yakni Rumah Abu Han. Rumah abu keluarga Han ini ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada tanggal 8 Januari 2013
Rumah abu keluarga Han merupakan bangunan yang dibangun oleh tiga langgam arsitektur yaitu Jawa, Eropa dan Tionghoa. Teras depan yang luas, terlingdungi dari panas matahari oleh atap gantung yang lebar, mengembang ke segala sudut, mirip atap joglo pada rumah tinggal tradisional jawa.
Terdapa juga di sekitar area sembahyang yang meliputi teras, hall tamu, ruang transisi, hal keluarga, sembahyang, ruang persiapanpun berbau khas Jawa. Adapun perwujudan elemen pembentuk ruang dalam rumah ini kebnayakn mendapat pengaruh dari gaya koloneal Belnada.
Sebagai contoh, pada plafon yang dibuat lebih tinggi dari biasanya sebagai salah satu ciri khas bangunan tropis. Pilar besi tersebut tergolong unik. Ornamen khas Eropa menghiasi pilar tersebut, yang sengaja diimpor dari Glasgow, Skotlandia.Selain pilar, arsitektur bergaya Eropa juga tampak pada rupa langit-langit di ruang altar para leluhur.
Ornamen bunga pada langit-langit khas Eropa begitu kentara. Pengaruh Tionghoa tampak menonjol pada perabot dan elemen interior rumah. Elemen dekoratif tersebut berupa lukisan foto Han berukuran besar yang terdapat di tengah-tengah bidang dinding dengan sebuah papan kayu jati lebar berwarna hitam berukir kaligrafi Tionghoa warna emas digantung di atasnya.