Lihat ke Halaman Asli

Kebangkitan Tiongkok dan Jaringan China Perantauan

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Shanghai, simbol kebangkitan Tiongkok

Sejak digulirkannya program reformasi oleh Deng Xiaoping, perekonomian Tiongkok terus melesat. Salah satu paket reformasinya yang penting adalah mengundang sebanyak-banyaknya investor asing untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Untuk memuluskan rencana tersebut, Deng melakukan beberapa perubahan regulasi yang memudahkan para investor asing untuk merelokasi asetnya ke Tiongkok. Tidak hanya itu, Deng juga memberikan beraneka macam insentif bagi perusahaan-perusahaan asing yang mendirikan pabriknya disini.

Dengan kebijakan tersebut, ekonomi Tiongkok tumbuh 9,5% per tahunnya. Tingkat kemiskinan-pun menyusut, dari 41% pada tahun 1978 menjadi 5% di tahun 2001. Pada tahun 2010, Produk Domestik Bruto (PDB) negeri tirai bambu itu mencapai USD 5.739 miliar, atau sekitar 9,16% dari total PDB global. Hal ini sekaligus menempatkan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi kedua di dunia, menggeser Jepang yang selama tiga dekade sebelumnya menduduki posisi tesebut. Dari daftar Fortune Global 500 yang dirilis pada bulan lalu, Tiongkok juga berhasil melampaui Jepang untuk pertama kalinya. Negeri komunis itu menempatkan 73 perusahaannya ke dalam daftar tersebut. Naik dibandingkan dua tahun lalu yang hanya memasukkan 46 perusahaan. Bahkan dalam daftar 10 besar, Tiongkok berhasil mendudukkan tiga wakilnya, yakni Sinopec, China National Petroleum, dan State Grid.

Jika banyak praktisi dan pengamat ekonomi tercengang melihat kebangkitan ekonomi Tiongkok yang begitu pesat, hal ini agaklah mengherankan. Dengan jumlah penduduk sebanyak 1,33 milyar dan luas wilayah 9,5 juta km2, serta didukung oleh sumber daya alam yang begitu melimpah, sudah sepantasnyalah Tiongkok kembali tampil sebagai kekuatan global. Menurut perspektif saya, justru ironi jika sebuah bangsa besar, selama abad ke-20 hanya menjadi bayang-bayang Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Bahkan untuk kawasan Asia, lebih dari 50 tahun Tiongkok hanya menjadi negara nomor dua di bawah Kekaisaran Jepang, yang dari segi luas wilayah dan jumlah penduduknya sangatlah kecil.
Perang Candu

Sejarah mencatat, sebelum berlangsungnya Perang Candu (1839-1842 dan 1856-1860), Tiongkok merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Negeri ini menguasai sekitar 32,9% PDB global pada tahun 1820, jauh di atas Inggris (5,2%) dan Prancis (5,1%) yang ketika itu memiliki koloni cukup besar. Tiongkok juga merupakan penghasil produk manufaktur terbesar. Dimana sepertiga hasil industri dunia pada masa itu, diproduksi di negeri ini. Meski menguasai perekonomian dunia, namun Tiongkok tidak memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Akibatnya kerajaan ini dengan mudah dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan kecil dari benua biru. Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda, silih berganti memborbardir dan berusaha mengambilalih penguasaan Tiongkok yang tambun. Tidak hanya itu, di penghujung abad ke-19 Tiongkok juga menjadi bulan-bulanan kekuatan Jepang yang ekspansif.

Dengan berkuasanya bangsa-bangsa kulit putih atas negeri tersebut, perekonomian Tiongkok segera menciut. Dalam waktu lima puluh tahun (1820-1870), penguasaan PDB global Tiongkok turun separuhnya. Kemiskinan tumbuh berlipat-lipat dan keadaan politik menjadi kacau. Dalam keadaan seperti ini, banyak orang-orang China daratan yang pergi merantau. Di perantauan mereka segera bangkit dan membentuk jaringan perdagangan. Orang-orang perantauan inilah kemudian yang menjadi unsur terpenting dalam kebangkitan ekonomi Tiongkok dewasa ini.

Jaringan Bisnis China Perantauan

Sterling Seagrave dalam bukunya Lord of The Rim, menyebutkan bahwa jaringan China Perantauan merupakan kelompok masyarakat yang cukup dinamis, ulet, dan tangguh. Tak salah kiranya jika mereka banyak menguasai usaha-usaha swasta di seberang lautan, terutama di kawasan Nanyang (Asia Tenggara). Pada tahun 1990, populasi masyarakat China Perantauan berjumlah 35 juta orang, dengan total PDB 1,35 kali dari Republik Rakyat China (RRC). Mereka merupakan salah satu sumber modal terbesar di dunia, dengan penguasaan aset lancar mencapai USD 2 triliun. Sebagai perbandingan, Jepang dengan penduduk tiga kali lipat dari jumlah China Perantauan, hanya mempunyai aset lancar sebesar USD 3 triliun. Dan aset inilah -- yang bisa dipindah-pindahkan sesuka hati mereka -- menjadi bahan bakar kemajuan China daratan dewasa ini.
Peta persebaran dialek Mandarin di pesisir selatan Tiongkok

Seagrave menambahkan, China Perantauan merupakan kelas menengah yang makmur, dengan kelihaian bisnis yang luar biasa. Mereka biasa berlindung di bawah kekuatan politik yang korup, serta sering mendapatkan konsesi dan monopoli dari pemerintahan semacam itu. Di perantauan mereka tidak memiliki afiliasi politik yang jelas, dan hanya bertuah kepada yang menang. Oleh karenanya mereka sering kali direcoki oleh kekuatan besar dari luar, terutama para politikus lokal dan kapitalis Barat. Cara mereka bekerja dan membangun bisnis, biasanya sering mendasarkan pada kesamaan marga dan kepercayaan.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir, lebih dari seratus konglomerasi muncul di Asia Tenggara, yang sebagian besarnya dikendalikan oleh etnis Tionghoa. Konglomerasi China Perantauan ini, merupakan sebuah kerajaan tersendiri yang tidak memiliki bendera dan batas teritorial. Meski pada awalnya dijalankan dengan cara profesional, namun regenasi dalam perusahaan-perusahaan mereka sering terkendala. Korporasi-korporasi bernilai miliaran dolar, yang seharusnya diserahkan ke pihak yang handal, malah sering diberikan kepada anak atau saudara-saudara terdekat. Celakanya! justru pihak terafiliasi inilah yang mengakhiri bisnis mereka. Hal inilah kemudian yang menyebabkan, sulitnya korporasi mereka untuk terus berkembang dan mencapai usia 100 tahun. Kalaupun ada, mungkin jumlahnya sangat sedikit dan tidak memiliki volume cukup besar.

Meski mayoritas mereka menjadi warga negara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, namun semuanya memiliki akar dari China Selatan. Kebanyakan mereka datang dari Propinsi Fujian dan Guangdong, yang mempunyai dialek bahasa sendiri-sendiri. Dialek Hokkian, Teochiu, Hakka, dan Kanton, merupakan empat dialek terbesar orang-orang China Perantauan. Untuk menjaga diri, biasanya mereka membentuk organisasi-organisasi rahasia berdasarkan daerah asal dan kekerabatan. Organisasi ini bisa berupa kelompok amal, kongsi bisnis, ataupun sindikat kejahatan. Anggota organisasi inipun bersifat tertutup dan saling melindungi. Salah seorang anggota yang menjadi gembong narkotika misalnya, bisa saja membiayai bisnis jasa ataupun properti. Dan mereka ini saling berjalin berkelindan, tolong menolong untuk mendapatkan keuntungan yang sama.

Tiga Naga Kecil : Taiwan, Singapura, dan Hongkong

Pelabuhan Singapura, salah satu yang tersibuk di dunia

Taiwan merupakan pulau di bagian tenggara daratan China. Mayoritas masyarakatnya adalah keturunan Hokkien (70%) yang merantau beberapa abad lalu dari Propinsi Fujian. Saat ini, Taiwan merupakan pemasok terbesar dunia untuk produk-produk komputer, seperti : chip, panel LCD, memori komputer, dan peralatan jaringan. Kepemimpinan Taiwan dalam industri perangkat komputer, bermula dengan didirikannya Hsinchu Science Park pada tahun 1980. Kawasan yang didesain khusus untuk pengembangan IT dan bioteknologi ini, menyerupai Silicon Valley di Amerika. Disini setidaknya terdapat 430 perusahaan IT yang memperkerjakan lebih dari 130.000 orang karyawan. Termasuk di dalamnya Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) dan United Microelectronics Corporation (UMC), yang merupakan dua produsen chip terbesar di dunia. Berkat penguasaan teknologi informasi, dewasa ini Taiwan menjelma menjadi salah satu negara termakmur di kawasan Asia Pasifik.

Singapura adalah benteng terpenting jaringan bisnis China Perantauan. Meski berada di tanah Melayu, namun 75% populasinya adalah keturunan Tionghoa. Menurut banyak pengamat, Singapura merupakan contoh masyarakat Konfusian yang ideal. Dengan kepemimpinan patriarkal, tekanan pada pentingnya kedisiplinan, serta birokrasi yang kompeten dan berkompensasi tinggi. Di awal abad ke-19, Singapura merupakan crown colony Imperium Inggris. Dialah Sir Thomas Stamford Raffles, yang mengubah Singapura dari pulau tak bertuan menjadi kawasan yang bernilai tinggi. Letaknya yang strategis di persimpangan Selat Malaka, menjadikannya sebagai tempat yang paling cocok untuk berlabuh dan pengembangan industri galangan kapal. Sejak saat itu, Singapura menjadi salah satu pelabuhan terpenting di dunia. Tidak hanya itu, ribuan perusahaan kelas kakap juga menjadikannya sebagai pusat kegiatan regional Asia Pasifik. Tak puas hanya menjadi penonton, Singapura menciptakan korporasi miliknya sendiri. Di bawah kendali Temasek Holdings, perusahaan-perusahaan Singapura terus berkibar dan menjadi pemain global.

Sejak berpisah dari federasi kerajaan-kerajaan Melayu di tahun 1965, negara kota itu terus berbenah diri. Pemimpin-pemimpin mereka yang cakap dan bersih, tidak mentolerir praktik suap seperti yang terjadi di negara-negara tetangga. Walau begitu, dengan segala kelihaiannya Singapura justru berhasil memanfaatkan praktek kotor yang terjadi di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Bank-bank mereka, selalu siap untuk menampung semua hasil kegiatan ilegal dari negara-negara tersebut. Dan menjadi basis utama tempat pencucian uang yang paling aman. Meski Singapura ditunjang oleh infrastruktur dan korporasi yang baik, namun tak sedikit pula uang-uang haram itu menggerakkan turbin perekonomian mereka.
Hongkong, pusat keuangan kaum China Perantauan

Selain Taiwan dan Singapura, Hongkong juga merupakan sentral bisnis kaum China Perantauan. Di samping orang Kanton yang pribumi, Hongkong juga dihuni oleh kelompok Teochiu, masyarakat Hokkien, dan beberapa etnis kecil dari Propinsi Fujian. Banyak dari mereka merupakan para pengungsi sebelum era pemerintahan Chiang Kai Shek. Namun hingga tahun 1949, tak ada kelompok yang sepadan dengan orang-orang Shanghai. Mereka ini adalah para miliuner yang melarikan diri dari tekanan partai Kuo Min Tang (nasionalis) dan elit-elit komunis. Taipan-taipan Shanghai merupakan ahli finansial, bankir, dan industriawan terkemuka. Juga merupakan kelompok China pertama yang menguasai teknik perbankan dan praktek komersial Barat. Tak sedikit pula keahlian pat gulipat ala Inggris yang mereka kuasai, seperti membuat perusahaan terselubung (one dollar company) dan manipulasi harga saham. Mereka memetik cara-cara yang menguntungkan dari Barat dan mencangkoknya dengan akar budaya Tiongkok. Berkat kepandaian mereka, Hongkong kini menjadi salah satu kota bisnis terkemuka di dunia timur. Dan Hongkong Stock Exchange, merupakan salah satu bursa efek yang paling bergairah, menyaingi bursa-bursa di New York, London, dan Tokyo. Meski bekas koloni Inggris ini telah bergabung dengan Tiongkok sejak tahun 1997, namun diterapkannya “dua sistem satu negara” tetap memberikan keleluasaan bagi Hongkong untuk menjadi tempat investasi yang menguntungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline