Lihat ke Halaman Asli

Yusuf Afandi

Seorang yang senang mengutak atik media

Hilangnya Spiritualitas dalam Ibadah

Diperbarui: 23 Agustus 2017   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Tribunnnews.com

Jalaluddin Rumi pernah berkata"Sungguh kasihan orang yang sampai kelaut dan ia merasa puas mendapatkan sedikit botol air, sementara mutiara dan ratusan benda-benda berharga dalam laut bisa dikumpulkan" . Ibadah haji merupakan lautan yang penuh dengan nikmat dari Allah, sungguh merugi rasanya seseorang hanya puas dengan embel-embel duniawi yang tidak berharga ini membutakan hatinya untuk mendapatkan hal yang lebih besar dan mulia dari Allah SWT.

Ibadah haji merupakan ritual yang diwajibkan bagi seorang muslim ketika telah dianggap memiliki kemampuan (istitho`ah) untuk melaksanakannya. Baik kemampuan dalam segi material maupun spiritual. Ibadah Haji menuntut seseorang untuk mampu menyeimbangkan nilai spiritual dan material secara bersamaan. Pelaksanakan ibadah haji yang terdiri dalam beberapa rukun, mesti dilaksanakan dengan kemampuan fisik yang bagus. Tujuan hakiki dari pelaksanaan haji tidak lebih adalah mengharap ridha Ilahi (mabrur) yang diyakini sebagai sarana penghapusan dosa dan perubahan diri kearah yang lebih agamis dan spiritualis.

Ulama Fiqh mendefenisikan haji sebagai menyegaja untuk mendatangi ka`bah untuk mengadakan ritual/amalan-amalan tertentu. Hal yang mesti diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa ibadah haji merupakan sebuah perjalanan spiritual yang membutuhkan persiapan ruhani dan mental yang kuat, karena haji  bukanlah perjalanan biasa ke Ka`bah, Di dalamnya mengandung pesan-pesan dan pemaknaan-pemaknaan yang bersifat ilahiyyah yang mestinya dapat dirasakan oleh setiap orang yang berhaji.

Secara historis haji memiliki makna yang mendalam dalam pengorbanan kemanusiaan Nabi Ibrahim dalam memperjuangkan keyakinannya dan bagi Rasululullah SAW, Haji merupakan puncak keberhasilan dakwah islam yang telah ia perjuangkan seumur hidupnya. Haji sarat dengan nilai-nilai perjuangan, pengorbanan, dan pengungkapan atas rasa syukur dan kecintaan yang mendalam kepada Allah SWT.

Fenomena Haji Muslim Indonesia

Dalam pandangan Christian Snouck Hurgronje (1997) dan Martin Van Bruinessen (1997), dari hasil kajian mereka, masyarakat muslim melakukan ritual haji ke Mekkah disebabkan beberapa alasan, antara lain: untuk memperoleh kehormatan, menuntut ilmu, rasa kecewa dalam urusan dunia dan kejenuhan hidup sehari-hari yang telah dirasakan. Pemahaman ini dirasa sangat materialis dan sekuler karena bertentangan dengan nilai-nilai spiritualisme keislaman yang bermuara pada penghambaan diri manusia kepada Tuhan dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi dan material.

Akan tetapi, pada kenyataannya hal-hal yang disampaikan oleh C. Snouck Hurgronje mulai dapat dilihat dengan jelas dalam kehidupan beragama dewasa ini. Lahirnya sebuah generasi baru kelas menengah yang masih gamblang dalam memahami nilai-nilai keislaman yang masih berkutat dalam pemahaman tekstual dan normatif tanpa mengindahkan aspek-aspek lain yang lebih komprehensif dalam memaknai Islam dan ritual-ritual keislaman.

Haji beralih fungsi dari sarana penghambaan seorang manusia kepada Tuhannya menjadi sarana pencitraan yang berujung pada pembentukan citra religious bagi orang yang telah melaksanakannya. Gelar haji dianggap sebagai bentuk ketaatan dan puncak kereligiusan seseorang dan dapat menarik perhatian masyarakat untuk memilih mereka agar menjadi pemimpin atau mengisi pos jabatan-jabatan tertentu.

Haji juga menjadi tujuan bagi pelajar ilmu agama untuk mendalami ajaran-ajaran keislaman, berguru dengan para syaikh yang mengajar di tonggak-tonggak Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.  

Disisi lain, tuntutan yang bersifat duniawi, lelah dengan permasalahan yang menghimpit, dan kegagalan yang menimpa dijadikan alasan lain untuk melaksanakan ibadah Haji bagi sebagian muslim yang borjouis. Tentu hal seperti ini tidaklah menjadi masalah yang mendasari seseorang untuk melaksanakan haji, akan tetapi hal ini berimplikasi pada pendangkalan makna dari ibadah haji itu sendiri yang amat luhur dan mendalam .     

Bahkan haji dikomersialisasikan dan dikomodifikasikan dalam bentuk-bentuk pemberian fasilitas bintang lima dan pemasarannya dengan menjadikan ustadz/ustadzah popular sebagai duta dan juru pemasaran, dan sudah barang tentu ditambah dengan iming-iming surga dan penghapusan dosa dari pemahaman-pemahaman dangkal dari al-Quran dan Sunnah menjadi bumbu pelengkap dalam industri religiutas ini yang dibandrol dengan harga yang sangat tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline