Lihat ke Halaman Asli

Kerjasama Pengiriman Perawat Indonesia Kejepang Siapa yang Diuntungkan…?

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412596027561109808

Jika kita bertanya siapa yang paling diuntungkan dengan program pengiriman tenaga perawat Indonesia kejepang sebagai perawat (kangoshi) dan perawat lansia (kaigoshi) tentu jawabannya adalah pihak  jepanglah “instansi penerima” yang cukup diuntungkan. program yang telah berjalan selama 6 tahaun ini terhitung sejak ditandatanginanya kesepakatan kemitraan ekonomi (Indonesia Japan Economic Partnership Agreement / IJEPA) oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008 silam. dan salah satu klausal dalam kesepakatan IJEPA ini adalah tentang pengiriman tenaga professional perawat Indonesia kejepang untuk ditempatkan sebagai perawat(kangoshi/nurse) dan perawat lansia (kaigoshi/caregiver) untuk ditempatkan diseluruh rumah sakit/rumah sakit lansia dijepang.

Mengulang kembali kata “tentulah jepang yang cukup di untungkan dalam program ini” mengapa..? jawaban sederhananya adalah tentu jepang kekurangan tenaga perawat sehingga jepang butuh perawat dari luar guna memenuhi kekurangan tersebut.namun sekali lagi mengapa…??? berbicara secara individual tentang  skill perawat yang dikirim, perawat Indonesia tentulah telah memiliki skill yang hampir setara dengan perawat jepang pada umumnya  dan siap serta bisa di adu kemampuannya dalam bidang perawatan. Mengingat  perawat Indonesia yang dikirim kejepang adalah perawat pilihan/profesional yang telah melalui beberapa proses seleksi sebelum di berangkatkan. Namun apa di kata setelah kedatangan kejepang ruang gerak kerja para perawat Indonesia sangatlah terbatas mengingat syarat mutlak bisa setara dengan perawat jepang lainnya adalah dengan memiliki sertifikasi lulus ujian nasional kemampuan perawat dijepang itu sendiri. Begitupun yang terjadi kepada para perawat lansia(kaigoshi/caregiver). tentu belum cukup sampai disitu keterbatasan kemampuan  dalam Bahasa juga menjadi  salah satu alasan mencapai kesetaraan antara perawat Indonesia dengan perawat jepang.

Walaupun pihak jepang sendiri telah memberikan dukungan kepada para perawat (kangoshi/kaigoshi) melaui pelatihan Bahasa selama satu tahun yang meliputi 6 bulan di indonesia dan 6 bulan di jepang tentu masih belum cukup dikarenakan para perawat (kangoshi/kaigoshi) dituntut untuk bisa mengetahui sistem keperawatan jepang ,jaminan social/asuransi kesehatan ataupun tentang perundang-undangan kesehatan jepang itu sendiri. ditambah lagi waktu kerja bagi perawat(kangoshi/kaigoshi) dijepang 8-9 jam perhari  sehingga sulit untuk mengatur jam belajar yang efektif. tantangan inilah yang membuat porsentase kelulusan ujian Negara masih rendah. lagi-lagi siapa yang diuntungkan jika seperti ini..?

Meskipun antara yang menjadi perawat (kangoshi) dan perawat lansia (kaigoishi) memilki lingkup kerja yang berbeda namun skill dalam hal ini kemampuan dalam bidang perawatan tentulah setara, karena di Indonesia para perawat yang dikirim telah mengantongi sertifikasi keperawatan yang sah dan diakui. Dan hal ini pula yang menjadi keuntungan besar bagi rumah sakit lansia yang mempekerjakan perawat Indonesia.

Tidak hanya memanfaatkan sertifkasi keperawatan yang telah dikantongi oleh para perawat Indonesia  saja, namun instansi rumah sakit mengambil keuntungan dari para perawat (kangoshi/kaigoshi) yang belum memiliki sertifikasi keperawatan “kangoshi/kaigoshi” standar jepang ini untuk bisa membatasi atupun mempreteli  hak-hak para perawat yang belum lulus, alasan mendasarnya  adalah karena belum memiliki sertifikasi lulus ujian nasional jepang maka belum setaralah perawat Indonesia dengan perawat jepang lainnya. Sehingga dari sisi financial yang diperoleh oleh para perawat Indonesia yang belum lulus masih jauh dari standar yang di dapat oleh perawat (kangoshi/kaigoshi) jepang lainnya yang telah meiliki sertifikasi lulus ujian nasional jepang.

Belum berhenti disitu semangat kerja dan tenaga yang diporsir oleh para perawat Indonesia juga menjadi pertimbangan yang sekaligus menjadi keuntungan buat instansi rumah sakit, Menjalani system  kerja yang sama  namun memperoleh tunjangan yang berbeda dengan perawat jepang. sehingga tak jarang para instansi menuntut  para perawat kerja secara proporsional seperti halnya perawat jepang lainnya meskipun ditengah keterbatasan Bahasa, namun kurangnya dukungan kepada para perawat (kangoshi/kaigoshi) dari segi pembelajaran guna menghadapi ujuian nasional sehingga hal ini terkesan hanya memanfaatkan tenaga para perawat Indonesia semata.

Saya pernah berbincang bersama salah seorang senior perawat lansia (kaigoishi) yang telah lulus ujian nasional dan sudah lumayan lama tinggal dijepang mengatakan bahwa ditempat ia bekerja sekarang ini akan terus mengambil perawat luar baik dari Indonesia maupun Negara tetangga asia lainnya yang sudah menjalin kerjasama IJEPA seperti ini, tanpa harus memikirkan tentang kelulusan mereka,. Karena tentunya perawat baru memiliki semangat kerja yang tinggi dadan tentunya fresh dan segar. Jika diistilahkan “tenaga baru pasti larinya kenceng”.

Belum berakhir kata siapa yang diuntungkan serta  lemahnya evaluasi dari pihak pemerintah Indonesia tentang program pengiriman tenaga perawat ini, sehingga tak banyak dari para perawat  (kangoshi/kaigoshi) yang telah menandatangani kontrak kerja harus memutuskan dan pulang untuk bekerja dinegeri sendiri. kembali lagi terdapat hal  berbeda yang dirasakan setelah masuk ketempat kerja. Misalnya terdapat perampasan hak ataupun kurangnya dukungan dari pihak rumah sakit guna mencapai kelulusan. Perampasan hak yang dimaksud adalah tidak dihargainya keberadaan perawat (kangoshi/kaigoshi) yang memiliki keyakinan beragama. untuk diberikan kesempatan melakukan ibadah ditempat kerja.

Melalui tulisan “opini” ini saya berharap akan ada peninjauan ataupun evaluasi secara kongkrit dan nyata tentang program pengiriman tenaga perawat Indonesia sehingga antara kedua pelah pihak yang dalam hal ini secara individual bisa dirasakan keuntungan yang cukup memuaskan “jasmani dan rohani”. Karena orientasi kerja tidak semata-mata hanya untuk mendapatkan gaji yang terbilang lumayan besar jika dirupiahkan namun yang paling penting adalah bisa mendapatkan hak-hak/dihargai  ditempat kerja sebagai individu yang memiliki keyakinan sehingga akan tetap menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Salam FORKOM IJEPA VI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline