Tersentil, itulah yang saya rasakan saat pertama kali membaca brief "Sengkarut Bahasa Ngeblog" di menu Topik Pilihan kompasiana bulan Oktober 2020 ini.
Seingat saya Oktober memang identik dengan sebutan Bulan Bahasa dan Sastra. Tahun lalu saat magang di salah satu lembaga, saya juga terlibat dalam rangkaian lomba Oktober Bulan Bahasa. Penyebutan ini tentu bukan tanpa alasan. Sebab pada bulan Oktoberlah lahir cikal bakal bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan kita. Bahkan jauh sebelum Indonesia itu sendiri berdiri sebagai negara berdaulat. Bahasa Indonesia sudah dikukuhkan pada tahun 1928. Ya, dalam Soempah Pemoeda, khususnya pada poin keputusan ketiga.
Seiring perkembangan zaman, bahasa Indonesia mengalami penambahan kosakata dan penyempurnaan ejaan beberapa kali agar lebih sederhana seperti sekarang. Meski begitu, tidak semua orang memahami kaidah-kaidah dalam bahasa Indonesia secara utuh. Termasuk saya. Dalam hampir semua artikel, saya sering menggunakan bahasa lisan dalam tulisan-tulisan saya.
Baca juga : Bahasa Indonesia: Sejarah Penyempurnaan Ejaan
Bagi saya pribadi, menulis artikel daring menggunakan bahasa lisan memiliki kenyamanan tersendiri. Sebab ketika menulis, saya membayangkan diri sedang 'mengobrol' dengan pembaca melalui tulisan saya. Tapi cukup saya akui, beberapa artikel yang menggunakan bahasa lisan kadang tidak berhasil menyampaikan kesan 'ngajak ngobrol'. Malah berefek sebaliknya, membuat tulisan tidak nyaman dibaca.
Siapa yang bisa menentukan? Menurut saya, kembali ke pribadi masing-masing sih. Jam terbang juga pasti sangat mempengaruhi.
Ketika pertama kali diberi tugas dosen jurnalistik menulis "artikel sebanyak-banyaknya di kompasiana", saya bahkan tidak mengumpulkan nilai yang memuaskan karena sangat buntu dalam hal kepenulisan. Bisa cek tulisan kami dengan tagar jurnalistikuinjogja16. Tulisan mahasiswa semester satu yang sedang senang-senangnya dengan titel akademik 'mahasiswa baru'.
Tapi dari situ saya percaya,
semua hal di luar hobi memang harus dipaksakan.
Cara 'memaksanya' itu yang berbeda-beda, pun respon/hasil dari paksaan itu juga pasti akan beragam. Ada yang akhirnya berhasil bahkan hingga menekuninya. Ada juga yang mungkin menyelesaikan keterpaksaan tadi dengan sumpah serapah, tidak akan lagi menyentuhnya.
Selagi masih ada usaha untuk melatih kemampuan menulis, saya yakin kualitas tulisan juga akan mengalami peningkatan, mungkin hingga bisa menemukan ciri khas sebagai penulis.