Lihat ke Halaman Asli

Perang Agamakah??

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“History repeats itself”, kata mutiara yang selalu menjadi salah satu untaian kata favorit yang digunakan para sejarawan dan agamawan, karena untuk memperbaiki masa depan, kita perlu bercermin dari masa silam atau sejarah itu sendiri. Masa depan tidak akan mungkin ada tanpa masa lalu, ada akhir karena ada awal. Manusia tumbuh dengan kecerdasan yang luar biasa hingga mampu terus melakukan revolusi dalam kehidupan mereka, baik itu di bidang keduniawian maupun spiritual mereka. Dari itulah semua berawal. Kontak sosial yang semakin berkembang telah mencari jalan masing-masing untuk membentuk sebuah kelompok sehingga tidak bisa dihindari lagi bahwa persaingan akan timbul karenanya, dan semua itu sebab dari natur manusia yang cenderung kepada ‘Pengkultusan’ yang berwadah ‘Agama’.

Berabad-abad yang silam di belahan bumi bagian barat, manusia diketahui menyembah para dewa dan dewi kuno yang mereka anggap sebagai representasi dari Tuhan yang mempresentasikan fungsi masing-masing dengan tradisi dan ritual yang berkesan asketis. Namun pada saat itu, itulah yang mereka anggap membawa kedamaian untuk mereka hingga datanglah sebuah agama baru yang mengklaim membawa kedamaian yang sesungguhnya dari Tuhan sebenarnya. Sebagian mereka merespon dengan merasa bahwa ini sebagai ‘The Light in the end of the Tunnel’, cahaya di ujung lorong. Kemudian terjadilah persaingan dan perebutan. Sebuah kisah fiksi yang menjadi contoh adalah kecemburuan yang timbul dalam diri ‘THOR’ Sang Dewa Halilintar dan ‘FREY’ Sang Dewa Kesuburan dan Kemakmuran, karena sebagian besar manusia telah beralih dari menyembah mereka dan mengikuti ajaran baru yang mengajarkan untuk menyembah Tuhan dan anak-Nya yang tidak lain adalah ajaran Trinitas. Fenomena inilah yang menjadikan kecemburuan terhadap mereka berdua sehingga harus turun tangan untuk melakukan pembantaian terhadap manusia yang tidak mau menyembahnya kembali. Itulah salah satu contoh dari kisah fiksi yang bisa kita jadikan cermin terhadap apa yang terjadi pada agama-agama di zaman ini.

Sebut saja tulisan saya ini terinspirasi dari artikel pada link jadul ini; https://kabarnet.wordpress.com/2010/01/12/kardinal-vatikan-murka-adanya-islamisasi-di-eropa/; dan kebetulan setelah itu menonton film “VIKINGDOM” (asal cerita fiksi di atas) tapi semoga tidak terjadi seperti apa yang THOR dan FREY lakukan (semoga Tuhan melindungi – Aamiin). Mereka yang mengklaim diri sebagai agama langit yang berasal dari Tuhan sebenarnya dengan berdalihkan perintah Tuhan dalam kitab sucinya melakukan tindak kesewenangan bagaimana pun caranya supaya manusia yang menyembah selain Tuhan mereka mengikuti dan bergabung dengan mereka. Tidak mau bergabung dikatakan ingkar dengan konsekuensi ‘mati’. Beralasan bahwa dengan mengikuti mereka, segala bentuk kenikmatan bisa diperoleh. Dogma-dogma, doktrin-doktrin yang bersifat konservatif pun ditanamkan sehingga muncul konsep asketik modern dalam benak para pengikutnya. Timbullah hasrat untuk saling mempertahankan yang berujung pada penguasaan dalam konteks terselubung di medan pertempuran yang disebut “Perang Agama”; bukan lagi menyebarkan kasih sayang Tuhan melainkan menampilkan betapa seramnya ajaran Tuhan mereka.

Natur manusia dirancang untuk mendeteksi sendiri spot kedamaian yang ada di sekitarnya, yang karenanya tidak perlu adanya tindakan yang bersifat fiskal dalam hal menanamkan keyakinan. Kalau pun itu dilakukan maka akan timbul dalam diri manusia yang disebut ‘kedustaan’ dan ‘kemunafikan’. Desainer Tunggal Alam Semesta ini telah mengimplan sebuah chip kesempurnaan sebagai alat deteksi kedamaian dalam jiwa manusia. Chip inilah yang akan mendeteksi arus positif dan negatif yang masuk ke dalam diri manusia dengan mereduksi diri menjadi ‘Qalbu’ dan ‘Hawa Nafsu’. Dua bagian dari hasil reduksi chip inilah yang akan mengantarkan manusia kepada ‘kedamaian, ketentraman sejati’. Dan agama yang mengajarkan dan memberikan kesempatan untuk manusia memaksimalkan natur dasarnya ini sebagai sarana untuk mencari agama dimana ketentraman sejati itu ada adalah Agama atau Keyakinan sesungguhnya yang bersasal dari Tuhan. Agama atau keyakinan– yang sesungguhnya dari Tuhan, maka Tuhan Sendirilah yang akan menuntun hamba-Nya kepada-Nya melalui dia yang dijanjikan oleh-Nya. [@saccha_aerha]


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline