Lihat ke Halaman Asli

K.A.R.M.A…? (Bag. 7)

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13106831881017819278

CINCIN PERAK TAK BERINTAN Air matanya bergulir menggenangi pipinya yang tirus dan pucat. Ia terisak, tersedu. tangannya mengepal menggenggam keras ilalang, menarik ilalang hingga tersayat telapaknya. Titik darah memerah merembes dari sela kepalan tangannya. "Bawa aku pergi ...." Aku melangkah mendekatinya. Memeluknya erat. Merasakan degup jantungnya yang berirama sedu sedan. Ia menangis menyuarakan dukanya. Lebih kencang hingga tangisya membasahi bahuku. "Tak sedetikpun sejak saat itu kulalui tanpa mengingatmu, tak sedetikpun..." ujarku "Aku tak bisa berhenti memikirkanmu" ia terisak tak henti. "Ayah, Ibuku... mereka takkan mengizinkan, sampai mati...." Aku mengamitnya, mengajaknya duduk memandang ilalang dan kelambu gelap yg ditebarkan alam diufuk barat. "Sebesar apapun cintaku padamu, aku takkan pernah mau menjadikan seorang anak durhaka kepada orang tuanya...." Ujarku pelan "Takkan pernah, kita hadapi bersama...." Air matanya berbulir besar menggenangi pipinya. "Kau tak mengenal ayahku, Ae. Tak mengenalnya sedikitpun............." Malam meramu gelapnya, gemintang tak menampakkan kerlipnya terselubung mega-mega kelabu.Ah, andai saja kutahu sore itu adalah saat terakhir aku melihatnya. ------------------------------------------------------------------------- 21 Agustus 1999. Aku genap berusia 19 tahun kala itu. lewat tengah malam. Hawa dingin menggigilkan tubuhku ketika aku bangkit dari ranjangku. Bukannya bangun dari tidur, sebab semalaman tak memicing mataku sedikitpun. Meski tubuhku merebah lelah, mataku membelalak besar. Meski telah menguap berulang kali, kantukku tak jua menyapaku dan mengantarku arungi impiku. Aku gundah gulana, resah untuk sebuah alasan yang kutahu pasti. Diah Berjuta kenangan membayang dibenakku. Aku tahu persis, sejak kecil ibu bapakku mengajarkan betapa seorang pria harus dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya. Aku tahu persis. Juga aku sadar, ibu bapakku menginginkan yang terbaik bagi masa depanku. Dan jawaban dari semua itu, hanya dengan pendidikan yang baik. Wajah lelah ibuku bermain dipelupuk mataku, wajah itu berpeluh lesuh. Aku membayangkan gurat kekecewaan diwajahnya. Senyum kebanggaan pada anaknya yg ternyata durjana ini pupus, menghilang seumpama embun digilas sinar mentari. Pun tubuh bapakku yang berpeluh debu membayang dibenakku. Tubuhnya yang menua dan renta masih harus memerah keringat, bekerja kasar demi pendidikan anaknya yang tak tahu diri ini. Pasti akan sangat mengecawakan dan menyakitkan bagi mereka. Rasanya tak sanggup aku berdiri didepan keduanya, mengangkat wajahku dan mengakui betapa durjananya aku. Menegaskan padanya, etika moral yang diajarkannya padaku sejak kecil, ternyata sedemikian mudahnya kulalaikan dalam semalam. Tak lebih dari sekali perjumpaan. Sungguh aku anak tak berbudi, berahlak rendah. Begitupun, wajah diah bermain dipelupuk mataku. Wajah tirusnya yg memucat, genangan tangis dipipinya. Dan duka yang harus ditanggungnya atas apa yg kulakukan. Aku tak sanggup membayangkan penderitaannya lebih jauh. Dadaku bergejolak membulatkan tekad. Aku bukan seorang pengecut. Dan kurasa, aku memang mencintai Dia. Ah, Ibu dan Bapakku pasti akan memahami keputusan yang aku ambil. Mungkin mereka akan kecewa, tapi mengetahui anaknya seorang yg durjana tak bertanggungjawab, tentulah lebih menyakitkan bagi mereka. Kubuka lemariku, dari bawah lipatan baju, kukeluarkan amplop. Aku menyimpan sedikit uang disitu. Upah dari kegiatan survey jalan baru yang akan dibuka oleh Dinas PU Tingkat I SULTRA. Aku salah seorang surveyornya. Dosen Rekayasa Jalan memilih beberapa mahasiswa yang dilibatkan dalam proyek itu. dan aku salah seorang yang beruntung diantaranya. Aku menghitung lembarannya, mendesah berat. "Kasihan betul kau Diah, aku bahkan tak sanggup memberimu sebuah cincin yang pantas melingkar dijarimu...." Kugenggam erat cincin itu. bukanlah sebuah cincin emas, melainkan sebuah cincin perak tanpa batu intan. Hanya sebuah cincin perak tak berintan. Kumasukan dalam saku jaketku. Wajahku menyimpul senyum, aku datang untukmu diah. Aku merangkai kata dalam benakku. Mungkin aku akan berkata "Sejauh ini, Cuma cincin buruk ini yang dapat kusematkan dijarimu. Tapi percayalah, suatu saat aku akan menggantinya dengan cincin yang pantas melingkar dijarimu..." Suatu saat Diah, semoga kau yakin akan itu. Rumah itu megah berlantai dua. Sebuah mobil terparkir dihalaman depannya. Aku menelan ludahku yang tiba-tiba mengering. Kerongkonganku seolah tercekat. Jiwa pengecutku meragu tekadku. Aku menutup wajah membayang wajahnya yang menyimpul senyum. Aku datang untukmu, diah. Wajahnya beku itu menyambutku, sesaat setelah melihatku. Ia keluar menutup pintunya. "Aku tahu siapa kau.." ujarnya dingin tak berekspresi "A.. aku....." "Aku tahu, anakku bercerita banyak tentangmu..." Ia menaikan wajahnya angkuh. "Aku mohon, kau pergilah dari sini........." "tapi tante...." "Jangan memuatnya semakin menderita, kau pergilah..." Ia mengulur tangannya menunjuk pintu pagar yang terbuka. "Pergilah...." Aku menunduk pilu, melangkah keluar. tanganku merogoh sakuku. Menggenggam erat cincin perak tak berintan didalamnya. Bersambung......




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline