Lihat ke Halaman Asli

K.A.R.M.A...? (Bag. 6)

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

YANG TERSEMAI NAMUN TAK MENUAI

Agustus.

Hujan menyambang lebih awal. Derainya membasahi bumi anoa. Sekedar membasahi. Tidak membuat becek tanahnya yang merah bata. Akhir-akhir ini, ia merinai pelan seolah langit biru menitikan air matanya. Bersedih, untuk sebuah alasan.

Cukuplah ia menyegarkan rerumputan yg menguning melayu diterpa terik mentari kemarau. Aku menyukai aroma basah tanah dan rerumputan yg tersentuh tetes tangis angkasa, membuatku merasa berada didunia lain. Dunia dimana aku dapat berbaring diantara ilalang dan mendengarkan lirih suaranya saat angin menyentuh helai dedaunnya lalu memandang angkasa biru yang melingkar diatas sana. Kadang awan putih bergumul diantaranya, memberi corak putih ditengah birunya langit. Kadang burung camar terbang beriringan mencolek lembut mega-mega diatas sana menjadi sketsa indah yang tercapture indra penglihatanku. Syahdu.

sebaliknya, aku sangat tidak menyukai aroma jalanan beraspal yang menguapkan titik hujan seketika setelah ia menyentuhnya. Aroma pekatnya membuat pening kepalaku. Kupikir mengendusnya dalam dosis tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan otak. Karna itulah, pada cuaca semacam itu, banyak berkeliaran anjing gila. Mereka terlalu lama mengendus bau aspal yang menguapkan panasnya.

Ada satu hal yang istimewa tentang Agustus bagiku, selain kemeriahan Dirgahayu Negeriku tentunya. Agustus adalah bulan dimana aku menghirup udara bumi, setelah delapan bulan terdekap hangat rahim ibuku. Yah, delapan bukan sembilan. Sebab aku terlahir prematur.

Aku ingat bapakku berkisah, aku terlahir dalam kondisi yang menyedihkan. Kecil, layu dan kurus kering. Kakek, dan paman-pamanku sibuk menerka, seberapa lama Ae kecil sanggup bertahan menghirup udara dimuka bumi. Melampaui beberapa senja atau hanya sekali dua kali tarikan napas.

Bapakku yang malang, ia dekap bayinya yang bahkan tak menangis karna tak tak kuasa. Ia berdoa, jika memang bayinya bisa melalui malam setelah ia dilahirkan, maka ia berumur panjang. Sebaliknya, jika memang bayi mungilnya itu tak berezeki dengan hidup, maka dilepaskan dengan ikhlas sebelum rasa cintanya pada bayinya membukit.

Malam itu, Ae mungil melewati malam pertamanya bernapas dimuka bumi dalam dekap bapaknya yang berlinang air mata cemas.

..................

Purnama penuh malam itu. bulan berbentuk sempurna. Cahayanya benderang menjalar dipermukaan bumi, menjamahnya hingga kesudut-sudut yang temaram. Bahkan, cahayanya merembes manja disela-sela jendalaku yang tak berkaca. Kusibak kain horden, mempesilahkannya bertamu diruang kamarku yang pengap. Dari jendelaku rembulan terlihat Elok, seumpama gadis yang bersolek dan meramu merona.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline