Demokratisasi yang menjadi landasan individu dalam menunjukkan keberpihakannya terhadap sesuatu dan menjunjung tinggi kebebasan memberikan banyak ruang untuk mengaktualisasikan diri. Kebebasan individu itu merupakan buah dari konstitusi yang menandakan bahwa demokrasi telah menjadi sesuatu yang familiar.
Ruang yang tercipta oleh kebebasan ini menciptakan banyak sekat dalam berbagai hal, salah satunya politik. Kebebasan individu ini pada akhirnya menjadi jurang pemisah antar berbagai identitas yang ada di Indonesia. Salah satu hal yang sangat kentara ada pemisah satu sama lain adalah dalam hal politik.
Politik identitas di Indonesia tidak datang begitu saja. Politik identitas Indonesia mempunyai sejarah panjang yang menarik untuk kita ketahui. Politik identitas yang saat ini kita maksud tentu berbeda dengan pemahaman sejarah nasionalisme dulu. Awal mulanya merupakan ideologi yang digunakan oleh bangsa kita untuk melawan kolonialisme.
Sikap kritis tokoh selalu dituangkan dalam tulisan-tulisan yang membuat pejabat Hindia Belanda geram. Sangat jauh dengan politik kontemporer saat ini. Ditambah lagi dengan politik Indonesia yang sering berada dalam keadaan tidak stabil, mulai dari awal kemerdekaan hingga reformasi. Mungkin kita baru familiar dengan politik identitas saat Pemilu Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Saat itu masyarakat terbelah menjadi dua kubu, pertahanan dan oposisi.
Dari sejarah yang telah dijabarkan dan realita saat ini, politik identitas Indonesia secara garis besar dikerucutkan menjadi dua kelompok yaitu nasionalis dan agamis. Persamaan identitas warga negara yang bersatu memunculkan bentuk nasionalisme dalam masyarakat yang menonjolkan politik identitasnya.
Namun, bukan hanya nasionalisme, Indonesia sebagai negara yang mayoritas rakyatnya beragama islam juga memberikan kontribusi dalam sejarah hingga saat ini. Golongan agamis yang dalam hal ini adalah mayoritas, ingin menciptakan identitas keagamaan.
Pemilu lima tahunan yang sering kali disebut dengan "Pesta Demokrasi" juga membuat politik identitas kian memanas. Pada tahun pemilu kemunculan politik identitas di kalangan masyarakat semakin santer terdengar di berbagai penjuru Indonesia.
Sebagai negara majemuk dengan keberagaman agama, suku dan ras, Indonesia menjadi rentan dengan isu SARA. Fenomena politik identitas ini dimanfaatkan oleh elit politik untuk semakin digoreng demi tujuan kekuasaan. Hal ini menimbulkan propaganda dan konflik di masyarakat.
Setiap perbedaan didorong sebagai amunisi dalam politik identitas. Apalagi di era digital seperti sekarang, semua orang bisa dengan mudah membuat hoax, menyebarkan kebencian dan fitnah. Jika politik identitas sudah digunakan untuk meraih kekuasaan, pasti akan membawa perpecahan serta menimbulkan polarisasi dan ketegangan di masyarakat karena menempatkan kepentingan pribadi diatas kepentingan bersama.
Perpecahan yang muncul akibat adanya politik identitas dapat membahayakan stabilitas negara. Sebenarnya substansi dari politik identitas agama atau nasionalis bukan merupakan masalah utama karena balik lagi kita hidup di negara demokrasi berhak memilih apapun. Yang menjadi masalah adalah terjadi disharmoni politik strategi di Indonesia saat ini.
Politik identitas agama tidak memiliki pondasi pembentukan identitas yang sebenarnya, sehingga politik identitas ini ditunggangi oleh elit politik dan dimanfaatkan sebagai ruang untuk saling menjatuhkan. Padahal, politik identitas bisa dijadikan sebagai media yang menunjukan bahwa agamis dan nasionalis berjalan berdampingan dan memiliki satu misi yaitu mempertahankan dan memajukan Indonesia. Jangan sampai konflik antara kedua kelompok semakin memanas dan membuat kita semakin terpecah belah.