Lihat ke Halaman Asli

Adyatma Nugraha

Mahasiswa Hubungan Internasional-UPN Veteran Yogyakarta

Menjaga Perdamaian Dunia, Tanggapan Indonesia atas Krisis Rusia dan Ukraina

Diperbarui: 5 Desember 2024   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

A protester sits on a monument in Kyiv during clashes with riot police in February 2014. Louisa Gouliamaki/AFP/Getty

Pendahuluan

Dalam pertemuan di IISS Shangri La Exchange 20th di Singapura Prabowo mengusulkan di konflik Rusia dan Ukraina untuk menerapkan  demiliterisasi dan submission yang dimediasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendamaikan konflik yang memburuk sejak awal eskalasinya pada tanggal 24 Februari 2022. Usulan Prabowo berisi tentang penerapan gencatan senjata kedua belah pihak, dan membentuk zona demiliterisasi dengan masing- masing pihak mundur dari posisi masing-masing sejauh 15 kilometer. Menhan Prabowo turut menambahkan bahwa zona demiliterisasi tersebut perlu diawasi oleh pasukan perdamaian PBB.Permasalahan konflik Rusia-Ukraina memiliki akar sejarah yang panjang, berpengaruh terhadap dinamika geopolitik, dan dinamika internasional. Berdasarkan akar sejarah, sejarah Ukraina, Rusia, dan Uni Soviet sangat dekat, terutama sebagai bagian dari Uni Soviet hingga 1991. 

Setelah Uni Soviet runtuh, Ukraina menjadi negara yang merdeka. Namun, ada ketegangan karena banyak orang di Ukraina berdarah Rusia dan memiliki hubungan budaya dan etnis yang kuat dengan Rusia. Berlanjut di era modern terjadinya Krisis Krimea pada tahun 2014. Peristiwa itu terjadi ketika Rusia mengambil alih Krimea setelah demonstrasi di Ukraina yang menggulingkan presiden pro-Rusia Viktor Yanukovych. Aksi ini memicu pertempuran di wilayah Donbas, tempat separatis pro-Rusia mengumumkan kemerdekaan mereka sendiri. Penyebab dari konflik ini disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina sebagai bentuk kekhawatiran tentang ekspansi NATO ke timur. Rusia menganggap bergabungnya Ukraina dengan NATO sebagai ancaman langsung terhadap keamanan negara mereka. 

Dilanjutkan dengan Presiden Vladimir Putin selaku presiden dari Rusia, beliau sering mengatakan dalam pidatonya bahwa Ukraina bukanlah negara yang terpisah secara hukum dari Rusia dan bahwa dia bertindak untuk melindungi orang-orang yang berbahasa Rusia di Ukraina. Kemudian terjadinya krisis identitas nasional, terdapat perpecahan di Ukraina antara yang pro-Barat dan yang pro-Rusia. Hal ini menyebabkan ketegangan internal dalam negara, yang mempersulit upaya untuk mencapai kesepakatan nasional. Meskipun sudah diketahui penyebab dari konflik ini, saat ini konflik tersebut justru bertambah eskalasinya. 

Peristiwa tersebut terjadi ketika Rusia memulai invasi besar-besaran ke Ukraina pada 24 Februari 2022 dengan tujuan untuk "demiliterisasi" dan "denazifikasi" negara tersebut. Jutaan orang harus mengungsi karena invasi ini, yang menyebabkan krisis kemanusiaan besar. Tindakan invasi yang dilakukan oleh Rusia mengundang reaksi dari dunia internasional diantaranya pemberian sanksi ekonomi terhadap Rusia sebagai tanggapan terhadap invasi ini, sejumlah negara memberlakukan sanksi terhadap Rusia, yang mempengaruhi ekonomi Rusia dan dunia secara keseluruhan. Kemudian diperolehnya dukungan terhadap Ukraina dari negara-negara Barat. Negara-negara Barat membantu Ukraina dengan militer dan bantuan kemanusiaan sementara kritik internasional terhadap tindakan Rusia meningkat. Kemudian akibat dari konflik dari kedua negara ini justru dirasakan dampaknya secara global karena konflik ini tidak hanya berdampak pada kedua negara, tetapi juga menyebabkan keterbatasan energi, krisis pangan, dan inflasi di banyak negara karena ketergantungan terhadap kedua negara pada sumber daya mereka.

Sikap dan Kebijakan Indonesia

Indonesia mengambil sikap tegas dalam mendukung perdamaian dunia dan menolak segala bentuk agresi. Melalui berbagai pernyataan resmi, pemerintah Indonesia mengutuk pelanggaran kedaulatan Ukraina oleh Rusia, mengacu pada prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam forum internasional seperti PBB, Indonesia berusaha menjaga keseimbangan antara menolak agresi dan mengedepankan dialog. Sikap ini mencerminkan komitmen Indonesia terhadap penghormatan atas integritas wilayah dan kedaulatan negara, yang menjadi dasar dari politik luar negerinya.Namun, Indonesia juga berhati-hati untuk tidak berpihak secara langsung, menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak. Hal ini mencerminkan pendekatan diplomasi bebas aktif yang mengutamakan dialog sebagai solusi utama untuk mengakhiri konflik.

Kontribusi Indonesia dalam Resolusi Konflik

Indonesia telah berkontribusi melalui jalur diplomasi bilateral dan multilateral. Salah satu langkah signifikan adalah peran Presiden Joko Widodo dalam menghadiri KTT G20 di Bali tahun 2022, yang menghasilkan dialog langsung antara beberapa pemimpin negara, termasuk yang terlibat dalam konflik. Selain itu, Indonesia juga mengusulkan inisiatif kemanusiaan, seperti pengiriman bantuan untuk korban konflik di Ukraina, yang dikelola melalui organisasi internasional. Indonesia berperan aktif dalam menyerukan solusi damai dan mengedepankan pendekatan yang inklusif. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia berupaya menjadi mediator yang netral dengan menekankan pentingnya dialog dan penghormatan terhadap hukum internasional.

Tantangan dan Kritik

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline