Usai Kongres XIII yang dilaksanakan di Universitas Riau pada Mei 2016, atau tepatnya menjelang Muskernas untuk pengurus 2016/2018, saya ditelepon oleh kepala Divisi Kaderisasi Pusat, Oka, mengenai proses pengkaderan organisasi. Setelah beberapa menit berkomunikasi melalui telepon, usut punya usut, Oka memberi kabar bahwa buku pedoman kurikulum saya susun bersama tim pada periode sebelumnya (2014/2016), akan diubah oleh pengurus. Saya sama sekali tidak keberatan, hanya saja, rasanya kurang rasional karena buku pedoman dan kurikulum kaderisasi tersebut baru saja disahkan dan ditetapkan pada Rapimnas di Jakarta yang dilaksanakan pada Februari 2016 sebelumnya.
Memang selama ini, sebelum ditetapkannya buku pedoman kaderisasi yang saat itu ditetapkan di Rapimnas Jakarta 2016, IKAHIMATIKA tidak memiliki pedoman kaderisasi yang baku, baik dari aspek materi maupun aspek nonmateri seperti teknis pelaksanaan kegiatan sehingga pengurus pusat bahkan pengurus wilayah terkesan melaksanakan pengkaderan (Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa) sesuai dengan inisatif sendiri (panitia). Maka tidak heran, materi LKMM antara satu wilayah dengan wilayah lainnya kadangkala cenderung berbeda, tergantung inisiatif dan kreativitas panitia pelaksana.
Bagi beberapa pengurus, kondisi ini mungkin dianggap bukan masalah, namun pada titik tertentu, tidak adanya pedoman kaderisasi yang baku memberikan dampak yang buruk bagi keberlangsungan organisasi. Di forum permusyawaratan yang lebih besar seperti forum nasional, sepanjang pengalaman saya, beberapa peserta rapat harus berdebat sengit dan silang pendapat pada hal-hal yang sifatnya tidak subtansial. Saya masih ingat gaduhnya kongres XII di UBT Tarakan pada 2016 lalu hanya karena perbedaan pendapat terkait jumlah ketukan palu untuk menunda berjalannya sidang. Juga gaduhnya Rapimnas Jakarta 2016 silam karena perbedaan pendapat terkait boleh tidaknya anggota non-pengurus masuk dalam sidang/forum Rapimnas. Dan tentu masih banyak lagi perdebatan yang sifatnya sama sekali tidak subtansial.
Organisasi yang profesional mesti dan mutlak harus memiliki pedoman kaderisasi yang jelas dan baku serta terintegrasi secara nasional. Hal ini dimaksudkan agar materi pengkaderan dapat distandarisasi sehingga tidak terjadi multi tafsir terhadap visi/misi, tujuan didirikannya organisasi, hingga sejarah dan perkembangan organisasi. Kita harus mengakui secara jujur, bahwa hingga hari ini, materi yang dipilih oleh pengurus pusat/wilayah dalam melaksanakan LKMMM masih terkesan inisiatfif sendiri. Dampaknya jelas: materi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya belum seragam. Oleh karena itu, menjadi tugas pengurus pusat untuk memberikan solusi sekaligus instruksi kepada wilayah agar tidak 'seenaknya' memilih materi LKMM. Keseragaman ini penting, untuk menentukan arah gerak organisasi IKAHIMATIKA.
Ihwal kondisi ini, pengurus pusat tentu harus bekerja ekstra untuk mengawasi pelaksanaan pengkaderan (LKMM) di tingkat pusat maupun wilayah agar LKMM dapat berjalan sesuai dengan arah dan tujuan organisasi. Jaya Selalu Merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H