Lihat ke Halaman Asli

Ady Akbar

Pegiat Pendidikan

Elitisme Pendidikan Nasional

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tugas pemerintah (sebagai perwujudan dari negara) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara merata telah diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 sejak republik ini lahir 70 tahun silam. Bahwa pendidikan adalah satu-satunya instrumen untuk menyokong kemajuan bangsa, hal ini telah disadari oleh para pendiri republik ini. Dari sini kita meyakini bahwa the founding fathers sejak dahulu sepenuhnya sudah berpikir bahwa segala upaya pendidikan pada akhirnya diperuntukkan untuk keselamatan dan kebahagiaan rakyat. Kalimat mencerdeskan bangsa tersebut kembali dipertegas dalam UUD 1945 pasal 31, yakni seluruh warga negara berhak mendapatkan pengajaran, adapun negara wajib membiayainya. Dari sini pula kita tahu bahwa pendidikan di negeri ini sejak mulanya telah memihak, yakni memihak kepada masyarakat sebagai pemilik sah Republik Indonesia.
Namun pertanyaan yang timbul kemudian, apakah rakyat Indonesia saat ini telah merasakan pendidikan secara merata? Jawaban yang paling jujur tentu adalah tidak. Tolong lihatlah betapa para drop out berhamburan di setiap sudut kehidupan. Tolong perhatikan betapa yang masuk sekolah-sekolah formal (jenis pendidikan yang didewakan di negeri ini) adalah hanya dari golongan-golongan ekonomi kelas menengah ke atas, dari orang-orang yang masih mempunyai rangkaian kekeluargaan. Tolong saksikan betapa sulitnya untuk lolos testing masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengarkanlah jeritan warga kita dari ujung timur (Papua) yang merintih karena selalau dinomorsekiankan, guru-gurunya pun banyak yang buangan, banyak pula gedung sekolah yang kosong melompong berisi angin semilir, tiada guru. Dan tolong saksikan betapa luaran (out put) pendidikan tak bisa bekerja lantaran tiada dibekali kemampuan yang wajar hingga berakibat menjadi sebuah keresahan sosial yang sulit diatasi.
Bersarkan data Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, pada September 2011, jumlah penduduk miskin mencapai 28,89 juta orang. Karena itu, menyebut mayoritas masyarakat Indonesia berada pada garis kemiskinan adalah sebuah keberanian. Dan tentu sebuah kebenaran yang terbantahkan.
Melihat angka kemiskinan di atas, kita menjadi sadar bahwa begitu masih jauhnya cita-cita proklamasi dengan realita yang ada. Meski telah berumur lebih dari setengah abad, ternyata sebagaian besar penduduk Indonesia belum bisa menikmati kemerdekaan dalam beberapa bidang. Rakyat kecil belum merdeka sepenuhnya. Pertanyaannya adalah apakah benar-benar bahwa mereka miskin dan bodoh karena belum bisa menikmati pendidikan ataukah sebaliknya, mereka tak bisa menikmati pendidikan karena bodoh dan miskin? Ini adalah lingkaran setan. Pendidikan orang miskin tidak berhasil karena mereka miskin. Dan sebaliknya, mereka tetap miskin karena kurang berhasil dalam pendidikan.
Elitisme yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan adalah hal yang sangat menyakitkan bagi sebagian masyarakat. Pasalnya pendidikan semakin menutup pintu bagi mobilitas vertikal masyarakat miskin, sehingga mereka semakin termarjinalkan, menjadi pelestari kemiskinan, bahkan semakin miskin dan melarat.
Kita harus jujur mengakui, di dunia pendidikan kita masih terjadi satu jarak yang sangat lebar antara das sollen dan das sein (yang seharusnya dengan yang ada), antara teori dan kenyataan, antara harapan dan realitas, dan antara cita-cita dan fakta. Kondisi ini terjadi akibat faham elitisme yang merasuki sistem pendidikan nasional kita. Pendidikan yang mahal juga semakin menjerat dan melilit masyarakat bawah ke dalam jurang ketertindasan, sementara sebagian yang lain dengan gagap gempita berkata,"pendidikan memang mahal!", sebagai ungkapan manusia penindas. Akhirnya, secara tidak langsung, rasa-rasanya pendidikan memang bukan untuk masyarakat miskin tetapi untuk masyarakat elit. Inilah elitisme pendidikan.
Berita dan ihwal tentang elitisme dan ketimpangan pendidikan adalah cerita lama yang telah ada sejak kaum penjajah bercokol di negeri ini. Masuknya penjajah yang membawa sistem sekolah dengan didukung oleh struktur masyarakat yang menindas telah menggeser sistem pendidikan padepokan dan pesantren yang tidak mengenal status dan kelas. Kondisi demikian berlanjut terus hingga negeri ini merdeka dan sampai sekarang. Betapa kita melihat, pendidikan nasional kita cenderung semakin elitis dan tidak terjangkau oleh masyrakat miskin. Pemerintah cenderung diskriminatif dalam menentukan kebiakan yang justru menyulitkan orang miskin dalam mengakses pendidikan.
Akhirnya, tentu sudah sepantasnya political will para pengambil kebijakan perlu diprioritaskan untuk pendidikan bagi kalangan menengah ke bawah. Jika perlu, kebijakan pendidikan harus memihak kepada rakyat kecil. Pemihakan kepada rakyat kecil sebagai mayoritas bangsa Indonesia tentu bukan hal yang istimewa apalagi luar biasa. Sebab sebagaimana kita menyepakati bahwa pendidikan pada arti yang paling dasar adalah suatu proses liberation, proses pembebasan. Pembebasan bagi umat manusia untuk mencapai kemerdekaan diri dan sosial di segala aspek kehidupan. Logika dari asumsi ini berarti pendidikan harus lebih banyak ditujukan kepada mereka yang tertindas, terbelit persoalan, terbelenggu kemerdekaannya, siapa saja tanpa pandang bulu, ras, agama, suku, kaya maupun miskin.

Kendari, 23 April 2015
Akbar Palimbang




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline