Lihat ke Halaman Asli

Drama di Panggung Jalanan

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13678077955603578

Macet!

Ah, percuma mendebat perihal macet jika masih tinggal di kota dengan mobilitas tinggi seperti Jakarta. Sibuk mencari kambing hitam pun hanya sia-sia saja. Pasalnya, akan menjadi tidak bijaksana bilamana kita menunjuk jari kepada pemerintah, seolah ini adalah tanggung jawab tunggal mereka. Toh kenyataan di lapangan, kita sendiri masih sering alpa terhadap kedisiplinan di jalan, seperti melanggar rambu lalulintas. Hayooo jujur!

Abaikanlah itu semua. Anggap saja macet sebagai bonus pelajaran untuk kita yang merasakannya. Lho kok pelajaran? Ya, mau tidak mau kita harus melalui kemacetan tersebut untuk belajar lebih disiplin, belajar sabar dan belajar belajar belajar lainnya.

Setiap hari saya berangkat kerja mesti melewati Jalan Jenderal Sudirman. Mau tidak mau setiap pagi dan sore harus menghadapi macet. Terutama tepat di depan kampus Atma Jaya, setiap sore selalu dipadati kendaraan, terkecuali hari Sabtu.

Nikmati! Begitulah saya mengatur pikiran saya supaya tidak terjebak dalam emosi menghadapi macet serta kesembronoan dari para pengendara. Banyak hal yang dapat dilihat, diamati serta dinikmati ketika sedang macet. Karena jika dalam kondisi lancar, otomatis konsentrasi akan terus terpaku kepada jalan.

Sembari mendengarkan alunan musik yang keluar dari headset, saya menyaksikan beberapa kejadian layaknya sebuah drama di panggung jalanan. Di jembatan penyebrangan, tepat di depan kampus Atma Jaya, kondisinya memang ramai dengan lalu lalang. Sebuah kondisi yang kondusif bagi pengamen jalanan untuk menggelar aksinya.

Sekelompok pemuda bermodalkan alat musik seadanya, mencoba mencari peruntungan dari kondisi tersebut. Suara gendang yang terbuat dari paralon atau drum dan ditutup dengan karet ban pada salah satu sisinya, dipadukan dengan suara yang dihasilkan oleh bilah-bilah bambu yang dipotong bervariasi ukurannya. Mereka memainkan lagu-lagu daerah dan terkadang mereka campur dengan lagu pop. Sungguh menggairahkan sekaligus menghibur. Dengan memasang wajah yang selalu ceria, mereka memainkan musik seolah tak ada beban hidup yang ditanggungnya. Menebarkan aura positif, aura kegembiraan untuk para pengguna jalan yang sedang bermacet ria.

Lain lagi halnya dengan seorang pria tua penjaja tahu sumedang. Ia berdiri sembari goyang diiringi musik dari pengamen tadi, dengan memasang senyum sumringah ia merasa dengan bergoyang maka terangkatlah lelah seharian bergelut di jalan.

Kalau dipikir ulang, lebih lelah dan letih siapa? Mereka yang berjuang sepanjang hari di jalanan atau kita yang bekerja 8 atau 9 jam sehari. Pendapatan mereka yang tidak pasti setiap bulannya, memaksa mereka berjuang seharian penuh. Masih lebih beruntung para pegawai yang memiliki gaji bulanan, setidaknya pendapatan perbulan sudah dipastikan dalam nominal. Tetapi mereka tegar, tak terlihat kesulitan, selalu ceria. Sungguh sebuah pelajaran berharga.

Lalu, jika sudah tahu resiko tinggal di Jakarta, mengapa kita yang hanya sekedar terjebak macet harus bersungut-sungut? Harus merengut? Harus cembetut?

Nikmatilah! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline