Lihat ke Halaman Asli

Menggali Makna 17 Agustus

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Merdeka….Merdeka…Merdeka….” Kata-kata itu tak hentinya bergemuruh dari bibir kaum muda dan tua serta segenap Rakyat Indonesia sesaat setelah Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno, mengumandangkan proklamasi sebagai tanda sakral kemerdekaan bangsa ini. Tak hanya di Pulau Jawa kala itu, pembacaan proklamasi pagi itu juga memanen rasa haru dan gembira kepada seluruh Rakyat Indonesia yang berada di sudut-sudut Nusantara meskipun hanya melalui siaran radio. Sabang sampai Merauke. Kurang lebih demikian suasana pembacaan proklamasi pada 17 Agustus 1945 silam yang sampai saat ini masih menjadi agenda rutin bangsa ini.

69 tahun berlalu, kini seluruh lapisan masyarakat pun kembali menggelar peringatan Hari Kemerdekaan Republik ini melalui sejumlah agenda dan pesta rakyat, mulai lomba makan kerupuk, lomba lari/balap karung, panjat pinang, hingga upacara penaikan bendera. Begitu gembiranya bangsa ini. Kini kita melihat ratusan bendera menyempil tak beraturan dan merentengi gang-gang di seluruh sudut negeri. Merdeka….Merdeka….Merdeka….

Peringatan hari kemerdekaan, tentu saja dan terutama sekali, bukan hanya sekedar perayaan dan pesta makan kerupuk maupun pesta hura-hura. Namun, perayaan ini harus dilakukan dengan penuh kesungguhan, mengacu pada etos kebangkitan bangsa sekaligus menjadi titik penting untuk mengingatkan manusia Indonesia masa kini kepada pahlawan, the founding fathers, serta pendahulu bangsa yang telah turut andil untuk membangun dan memerdekakan bangsa ini.

Momentum peringatan hari kemerdekaan diharapkan tidak hanya menjadi agenda seremonial belaka, tetapi lebih daripada itu, hajatan rutin ini diharapkan menjadi fragmen perenungan untuk segenap lapisan dan generasi penerus bangsa. Melalui momentum ini, seluruh elemen bangsa dipacu untuk melanjutkan estafet perjuangan.

Memang, meskipun secara administrative Indonesia telah merdeka, namun kita perlu akui bahwa secara fisik kita masih jauh dari esensi kemerdekaan yang dicita-citakan oleh the founding fathers kita. Kemiskinan, korupsi, serta karut-marut pendidikan, adalah sekelumit dari sekian banyak bukti riil yang menjadi indikasi bahwa Indonesia belum merdeka secara fisik sepenuhnya. Oleh karena itu, momen peringatan kemerdekaan ini sudah sepatutnya kita jadikan sebagai momentum untuk melakukan kontemplasi terhadap nasib bangsa ini.

Di tengah hingar-bingar dan seonggok problema yang masih memasung bangsa ini, sudah saatnya peringatan kemerdekaan ini menjadi batu loncatan untuk merenungkan kegigihan pendahulu kita mempertahankan nasib bangsa sehingga ini menjadi brem untuk kita guna melanjutkan pembangunan bangsa. Kemiskinan, korupsi, dan problema lainnya adalah PR kita (sebagai generasi penerus) yang harus kita selesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Begitulah seharusnya, sebagai anak bangsa yang bijak, maka kita tidak boleh bergeming. Kita dituntut untuk mengingat pendahulu dan melanjutkan estafet kemerdekaan. Inilah alasannya, Presiden Soekarno memberi pesan “JASMERAH, jangan sekali-sekali melupakan sejarah”.

John F Kennedy pernah berkata, ”Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!”

Dirgahayu Republik-ku. Merdeka….Merdeka…Merdeka…

Kendari, 17 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline