Kalau berbicara pada tatanan rekruitmen para calon Hakim, tidak ada yang salah, semua dilakukan sesuai norma dan aturan yang telah ditentukan Undang-Undang maupun kesepakatan pembuat UU maupun lembaga Politiknya. Agar Pengadilan tetap terjaga kewibawaannya yang mandiri, netral (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas Negara. Dan hakim sebagai aktor utama atau figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak. Oleh sebab itu, semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim Sehingga untuk mencari Hakim-Hakim yang berkualitas menggunakan dan memperhatikan prinsip transparan maksudnya adalah mekanismenya terbuka, seleksi yang ketat, serta jauh dari kemungkinan adanya intervensi. Hakim-hakim harus memiliki tekad untuk menegakkan keadilan, jujur, arif dan bijaksana, bertanggungjawab, berintegritas tinggi, mandiri, menjunjung tinggi harga diri, rendah hati, dan profesional. Hal ini sesuai dengan 10 prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sebagai penegak hukum dan keadilan tugas hakim tidak semata-mata menerapkan hukum (peraturan perundang-undangan), tetapi sejatinya hakim harus menegakkan keadilan dengan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Menegakkan keadilan lebih penting dari menegakkan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dapat direkayasa sementara keadilan itu mutlak dan murni tanpa rekayasa. Semua yang kami tulis diatas adalah sebagai pedoman dalam memandang dan menilai keberadaan Hakim Hakim sebagai instrumen dalam penegakan hukum dan keadilan, kemudian menjadi pertanyaannya adalah bagaimana fakta pada putusan dalam : Perkara Angelina Sondakh alias Angie Partai Demokrat. Angie menjadi terpidana korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Pada awal 2013, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis empat tahun enam bulan penjara padanya. Saat itu, Angie tampak bahagia dengan putusan yang dianggap ringan tersebut. Ia juga tak diwajibkan mengembalikan uang Rp35 miliar yang didakwakan sebagai suap padanya. Jaksa penuntut umum dari KPK mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA) terkait putusan tersebut. Pada November 2013, majelis hakim MA menjatuhkan vonis lebih berat pada politikus Partai Demokrat itu. Angie diganjar 12 tahun penjara dan hartanya senilai Rp39,9 miliar pun disita. Kemudian Perkara Irjen Djoko Susilo terhadap putusan banding Pengadilan Tnggi DKI Jakarta yang memperberat hukumannya dari 10 menjadi 18 tahun penjara. Djoko juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 32 miliar. Tak hanya itu, hak politik Djoko Susilo,untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik, juga dicabut. Putusan ini lebih berat dari vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan hukuman selama 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Djoko juga dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang untuk periode 2003-2010 dan 2010-2012. Baik perkara Angelina Sondakh dan Irjen Djoko Susilo dengan melihat putusan Hakim-Hakim antara Pengadilan Tipikor tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung sangat berbeda, sehingga dalam mengimplementasikan frasa kejujuran, Profesionalisme, serta tanggung jawab Hakim selaku penegak hukum sebagai pilar keadilan sangat bertolak belakang. Yang kami soroti bukan pada putusannya, tetapi bagaimana pertimbangan dalam memutuskannya itu yang menjadi bahan pemikiran kami, Bagaimana mungkin dua putusan dengan perbedaan yang sangat mencolok dalam satu perkara, sehingga kami tidak dapat memahami arti kejujuran dari Hakim yang memutuskan, apakah yang memberikan putusan pidana lebih berat adalah dikatakan Jujur, Adil dan Profesional, lalu yang memberikan putusan lebih ringan adalah sebaliknya Tidak Jujur, Profesional dan Tidak Bertanggung jawab atau dengan kata lain Hakim yang menyidangkan dengan menilai keterangan saksi, bukti dan saksi ahli tidak berguna dan bernilai hukum, sehingga kami menganggap bahwa Peraturan perundang-undangan dapat direkayasa sesuai keinginan para Hakim-Hakim dan tidak peduli putusannya berbeda sementara keadilan itu mutlak dan murni tanpa rekayasa.... Mohon direnungkan.. Ditulis oleh Advokat Cirebon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H