Lihat ke Halaman Asli

Kuota 30%, Diskriminasi terhadap Perempuan?

Diperbarui: 25 September 2018   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Akhmad Bumi

Indonesia Negara hukum, olehnya hukum sebagai dasar legalitas sekaligus sebagai syarat berfungsinya sebuah Negara. Asas legalitas menandaskan Negara memakai hukum, bukan kekuasaan sebagai kriteria keabsahannya.

Untuk mendapat legitimasi / keabsahannya dilakukan dengan cara demokrasi. Menurut faham demokrasi, Negara harus dilegitimasi dari kehendak mereka yang dikuasai. Dalam konteks ini, olehnya kita bicara tentang Pemilu (pemilihan umum). Pemilu adalah perwujudan demokrasi yang berkedaulatan rakyat.

Pemilu bahagian dari demokrasi, tapi bukan satu-satunya, karena Pemilu hanya salah satu bentuk perwujudan demokrasi dari bentuk-bentuk lain. Pemilu adalah metode Negara untuk merealisasikan kedaulatan rakyat.

Pemilu dan demokrasi bukanlah konsep yang sinonim, tapi Pemilu berkualitas dipandang sebagai salah satu ciri kritis bahwa bangsa itu demokratis. Kualitas atau tidak Pemilu ditentukan 3 (tiga) hal; Pertama, electoral prosesyang didalam menyangkut struktur, peserta, penyelenggara dan mekanisme. Kedua, electoral laws yang menetapkan asas, tujuan, sistem dan dampak Pemilu. Ketiga, electoral formula yakni rumusan tentang pola dan mekanisme penentuan siapa atau Parpol mana yang akan jadi pemenang.

Karena Pemilu itu bersifat umum, olehnya semua warga tanpa diskriminasi ras, suku, agama, aliran pemikiran, aliran politik dan jenis kelamin berhak dipilih dan memilih, termasuk perempuan.

Penetapan kuota 30%

Penetapan kuota 30% untuk perempuan sebagaimana diatur Undang-undang disatu sisi adalah langkah maju, babak baru politik perempuan Indonesia, mendorong perempuan Indonesia untuk terlibat dalam dunia politik. Olehnya, pandangan selama ini bahwa politik adalah dunia milik laki-laki didekonstruksi menjadi strategi perjuangan semua warga Negara tanpa membeda-bedakankan termasuk jenis kelamin.

Pengaturan kuota 30% didasari argumentasi bahwa perempuan itu lemah atau dilemahkan oleh politik. Argumentasi itu tidak sepenuhnya tepat. Perempuan itu lemah atau dilemahkan bukan karena sistem politik tapi dipengaruhi oleh budaya (kebudayaan). Sistem politik Indonesia mengakui semua warga Negara sama, tidak ada pengkelasan warga Negara bahwa laki-laki sebagai warga Negara kelas satu dan perempuan sebagai warga Negara kelas dua dst.

Kebudayaan yang semestinya menjawab konstruksi sosial kita tentang posisi perempuan dalam masyarakat. Karena kita tidak bisa mengelak fakta, lapisan epistemik masyarakat kita masih bertipikal patriarkat yang membumi. Selama ini kesadaran politik perempuan rendah, itu karena masalah pra-politik, yakni sebuah masalah kebudayaan yang berdampak pada politik.

Membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mendukung dan memilih calon perempuan dalam Pemilu berarti terlebih dahulu menghancurkan lapisan epistemik yang mengakar kuat secara patriarkat. Karena kebudayaan yang membentuk lapisan patriarkat, maka pola penghancuran dilakukan dengan jalan kebudayaan pula.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline