Tulisan ini mencoba untuk menelaah secara singkat mengenai dilema yang dihadapi oleh korban peredaran narkotika, dikaitkan dengan proses penegakan hukum pidana di negeri ini. Korban penyalah gunaan narkotik, pada dasarnya telah diakui sebagai "pihak lemah" yang seharusnya dilindungi oleh negara, dan hal ini pun sudah termaktub dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pada UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menganut prinsip "double tarack system" yaitu selain mengendepankan pidana penjara dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika juga mengarahkan adanya proses rehabilitasi bagi pada pecandu atau pemakai narkotika. Hal ini tentunya sesuai dengan Single Convention Narcotic Drugs 1961 dan selanjutnya dalam sidang PBB di Vienna tahun 1972, konvensi ini diubah dengan Protokol 1971. Pada konvensi ini setiap negara diharuskan untuk mencegah dan merehabilitasi penyalahgunaan narkotika dengan cara memberikan edukasi, perawatan, rehabilitasi dan re integrasi sosial.
Menurut Undang – Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, pecandu narkotika wajib direhabilitasi, sedangkan pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) No. 4 Tahun 2010, tentang penempatan penyalah guna, korban penyalah guna dan pecandu narkotika ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial serta SEMA No. 03 Tahun 2011 tentang Penempatan korban Penyalahgunaan Narkotika di Dalam Lembaga Rehabilitasi Meedis dan Rehabilitasi Sosial. Ini berarti menempatkan penyalah guna narkotika sebagai korban kejahatan narkotika. Korban kejahatan yang bersifat adiksi membutuhkan perlakuan khusus, agar mereka mendapatkan perawatan dan perlindungan sehingga dapat kembali menjadi warga negara yang mampu berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsep ini dalam penegakan hukum pidana juga dikenal dengan istilah dekriminalisasi sebagai suatu proses untuk melakukan model penghukuman non kriminal sebagai salah satu kontruksi hukum modern, yang bertujuan menekan demand reduction dalam rangka mengurangi supply narkotika illegal, dan berdampak pada penyelesaian permasalahan narkotika di Indonesia.
Tapi fakta begitu indahnya kalimat dalam perundang-undangan, tidaklah seiring sejalan dengan fakta yang terjadi dilapangan. Pada beberapa kali menangani perkara narkotika, penulis menyaksikan dengan gamblang tindakan dekriminalisasi terhadap pemakai/pecandu merupakan "ladang basah" bagi sebagian oknum penegak hukum.
Setiap kali terjadi proses penangkapan terhadap pecandu/pemakai, pasal yang akan diarahkan adalah Pasal 112 ayat (1) UU No 35 Tahun 2009 yang berintikan "setiap orang yang terbukti secara tanpa hak dan melawan hukum membawa, memiliki atau menyimpan narkotika....". Setelah pasal ini dimasukkan, kemudian oknum penyidik seringkali akan "menakuti" tersangka atau keluarganya bahwa berkas perkara bila "tidak diurus" akan dikirimkan kepada Jaksa Penuntut Umum apa adanya dan tanpa disertakan Pasal 127 sebagai pasal yang mengedepankan adanya proses rehabilitasi bagi tersangka.
Tindakan ini, kemudian akan menjadikan tarik ulur kepentingan akan nilai nominal yang disepakati agar Pasal 127 dapat masuk ke dalam berkas perkara.
Cukupkah sampai disini?
Ternyata tidak, beberapa oknum penegak hukum kemudian akan mencoba mengarahkan dibutuhkannya keterangan dokter tentang adanya proses rehabilitasi bagi tersangka ini, agar kemudian dalam berkas yang dikirimkan kepada kejaksaan dilampiri keterangan rehabilitasi medis. Tentunya ini juga tidak diraih dengan "gratis" alias berbayar sesuai dengan kesepakatan yang nilainya cukup fantastis.
Setelah berkar diserahkan kepada kejaksaan, muncullah masalah baru bagi si Tersangka atau keluarganya. Beberapa oknum penuntut akan dengan gamblangnya mengatakan dibutuhkan "biaya-biaya" agar dalam dakwaan serta tuntutan nantinya tersangka bisa diarahkan menerima vonis atau putusan pengadilan menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Apabila semua ini tidak disepakati, maka fakta yang muncul di Persidangan sering terjadi perbedaan tuntutan Penuntut Umum dengan keterangan terdakwa, dimana Penuntut Umum menuntut bahwa unsur membawa, menguasai dan memiliki narkotika dengan jumlah yang sangat terbatas, (dibawah ketentuan Surat Edaran MA No. 4/2010, yaitu kondisi tertangkap tangan dengan barang bukti dibawah 1 gram untuk sabu, 8 butir untuk ekstasi dan 5 gram untuk ganja, yang merupakan kebutuhan satu hari) dengan ancaman pidana pasal pengedar. Sedangkan keterangan terdakwa menyatakan bahwa yang bersangkutan hanya menggunakan. Alasan penuntut umum karena mempedomani berkas perkara yang sudah terkonstruksi pasal membawa, menguasai, memiliki yang diperuntukan bagi pengedar.