Bagi ummat Islam Indonesia, terutama bagi para Imigran Hadharim dan aktivis pergerakan Islam di Indonesia, nama Ustadz Umar Hubeis tentu tidak asing lagi. Namun tidak sepopuler dengan K.H. Wahid Hasyim, Buya Hamka, Moh. Natsir dan yang lainnya. Mereka sudah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional sementara Ustadz Umar Hubeis (Allah Yarham) belum dilirik peran besarnya dalam perjuangan dalam melawan penjajah Belanda dan mengisi kemerdekaan di awal kemerdekaan. Perannya sangat besar dalam membangun Surabaya, Jawa Timur dan membangun peran serta di tingkat Nasional, namun belum dilirik sedikit pun, baik dari kalangan organisasi al-Irsyad al-Islamiyyah, Muhammadiyah, maupun komponen ummat Islam lainnya di tanah air.
Ustadz Umar bin Salim Hubeis lahir di Jakarta pada 22 Shafar 1322 H atau bertepatan dengan 8 Mei 1904 M. Berijazah Madrasah al-Mu’allimin Al-Irsyad Jakarta dan praktek mengajar dibawah bimbingan guru beliau, asy-Syeikh Ahmad as-Surkati al-Anshari. Pada tahun 1922 beliau menjabat Kepala Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Sejak itu beliau menetap di kota Surabaya dan mengembangkan al-Irsyad di sana yang perkembangan luar biasa pesat.
Umar Hubeis dikenal sebagai salah seorang pendiri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama K.H. Wahid Hasyim dan beberapa tokoh Islam lainnya, dan aktif sebagai anggota Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dari unsur MIAI. Tahun 1947 ia tercatat sebagai anggota Komite Nasional Pusat (KNP), dan sepuluh tahun kemudian terpilih sebagai anggota Konstituante, juga anggota Parlemen (DPR) RI (1959).
Beliau ikut mendirikan Yayasan Perguruan Tinggi Surabaya pimpinan Gubernur Samadikun pada tahun 1957. Yayasan ini lah yang mendirikan Fakultas Hukum, yang merupakan cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dengan kata lain beliau lah salah seorang pendiri Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya. Pernah menjabat sebagai guru besar pada Universitas Al-Irsyad di Surakarta, Fakultas Hukum dan Ekonomi Universitas Airlangga, Institut Teknologi Surabaya (ITS), Perguruan Tinggi Dakwah Islamiyyah (PTDI) dan Fakultas Hukum Agama Jurusan Da’wah (FIAD) dari Universitas Muhammadiyah.
Umar Hubeis dikenal sebagai seorang ulama dan mubaligh yang mengutamakan dakwah billati hiya ahsan berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia pernah menjabat wakil ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) perwakilan Jawa Timur, Ketua Majelis Ifta’ wat Tarjih Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jakarta) selama lebih dari 30 tahun, dan juga anggota Majelis Tarjih PW Muhammadiyah Jawa Timur, anggota LIPPA (Lembaga Ilmu Pelajaran dan Pendidikan Agama) pada perguruan tinggi negeri (PTN). Di samping itu beliau adalah Lektor penataran Bahasa Arab pada Ittihad al-Ma’aahid al-Islamiyyah Jatim, anggota staf ahli pada Bimbingan Perkawinan Prov. Jawa Timur. Beliau wafat pada hari Selasa, 10 Dzulqaidah 1399 atau bertepatan dengan 2 Oktober 1979.
Bukunya antara lain Fatawa yang sudah beberapa kali cetak ulang, kemudian Belajar Mudah Ilmu Nahwu Shorof, Tata Bahasa Arab Terapan, dan berbagai materi ceramah lainnya. Bahkan Buku Belajar Mudah Ilmu Nahwu Shorof yang ditulisnya bersama K.H. Ahmad Yazid itu justeru dipakai dikalangan Nahdliyin dan di Universitas Hasyim Ashari Jombang.
Diantara murid-murid beliau antara lain Prof. DR. T.M. Hasbi Ashshiddiqie yang pernah menjadi Rektor Universitas al-Irsyad di Surakarta dan Guru Besar di IAIN SUnan Kalijaga Yogyakarta, kemudian DR. Tarmizi Tahir mantan Menteri Agama RI di era orde baru yang ketika mudanya sebagai perwira TNI Angkatan Laut beliau ikut belajar Ilmu Tafsir bersama beliau di pagi. Beliau pernah bercerita bahwa diktat ilmu tafsir yang disusun oleh Ustadz Umar Hubeis sangat mudah dicerna dan mudah difahami, selain itu beliau belajar ilmu tafsir pun dengan sangat mudah pula belajar bahasa Arab dan ilmu tafsir sekaligus. Bahkan mantan Ketua Umum PP al-Irsyad al-Islamiyyah di era tahun 90-an yakni H. Geys Amar, S.H. pun pernah bercerita bahwa beliau diajarkan oleh Ustadz Umar Hubeis dan para pemuda lainnya bahasa Arab di waktu pagi setelah waktu Subuh di rumah ustadz Hubeis, yang sangat berkesan hingga saat ini.
Beliau seangkatan dengan Buya Hamka ketika menjadi anggota Konstituante. Buya Hamka sendiri bertetangga dengan adik perempuan Ustadz Umar Hubeis yang bernama Zubaidah Hubeis (nenek penulis) di Gg. Toa Hong II (sekarang Jl. Kebon Jeruk XVI) dibilangan Jakarta Barat dari tahun 1950 hingga akhir tahun 1957.
Jadi tidak ada kata terlambat untuk beliau gelar Pahlawan Nasional. Gelar Pahlawan Nasional sudah disematkan kepada kawan-kawan seperjuangannya antara K.H. Wahid Hasyim, Sjafruddin Prawiranegara, Buya Hamka dan lainnya. Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kota Surabaya, Universitas Airlangga, al-Irsyad al-Islamiyyah, dan Muhammadiyah perlu mendorong kepada Pemerintah Republik Indonesia agar disematkan gelar Pahlawan Nasional untuk beliau. Beliau sendiri yang ikut berpera memajukan dan mengembangkan Kota Pahlawan Surabaya, namun gelar Pahlawan Nasional belum kunjung diusulkan kepada beliau. Mudah-mudahan 10 November 2015 ini gelar Pahlawan Nasional disematkan kepada perjuangan beliau sebagai bentuk penghargaan negara atas perjuangan besarnya.
Lihat Tulisan terkait :