Lihat ke Halaman Asli

Menyikapi Telegram Kapolri No. 339/2021 Mengenai Pedoman Penanganan Cybercrime

Diperbarui: 7 Januari 2023   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Penegakan hukum yang semata-mata bersifat represif tanpa memperhatikan pendekatan preventif akan bertentangan dengan hakikat dan kodrat kejahatan yang bersumber dari masyarakat", pendapat itu dikemukakan Prof. Dr. Muladi, S.H. ketika memulai tulisannya yang berjudul "Kebijakan Kriminal dan UU ITE", di Harian Kompas, Selasa, 7 Januari 2020, halaman 6.

Mengutip Harian Kompas (23/9/2019) halaman 3, Prof. Muladi menulis, dalam rubrik Kilas Politik dan Hukum, memberitakan sejak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berlaku pada 2008, jumlah kasus tindak pidana yang terkait dengan UU tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2017 hingga 2019 saja total 6.895 orang sudah diselidiki Polri dengan rincian 38 persen terkait dengan penghinaan terhadap tokoh, penguasa, lembaga publik; 20 persen terkait dengan penyebaran tipuan; 12 persen terkait pidato kebencian; dan sisanya tindakan lain.

Melihat data diatas, menurut Muladi, orang mulai berpikir mengapa UU yang juga mengandung pengaturan tentang cybercrime (vide Cybercrime Convention, 2001) tersebut telah dituduh telah menjadi instrumen pemidanaan. Menurut Muladi, ada tiga moralitas, atau dimensi kepentingan negara dan masyarakat, kepentingan korban, dan kepentingan pelaku yang belum tentu bersalah.

Dari berbagai kritik terhadap UU ITE, menurut Muladi lebih lanjut, tampak bahwa UU ini dalam beberapa hal masih dianggap kurang menjamin kepastian hukum, beberapa perumusan bersifat multitafsir (karet) sehingga mengganggu kebebesan berekspresi (opini, kritik) di era demokrasi melalui Facebook, Twitter, Youtube, messenger (SMS, Whatsapp, dan BBM).

Disamping itu, UU ITE cenderung memicu perselisihan warga masyarakat yang dengan mudah melaporkan kepada penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan anggota masyarakat. Beberapa pasal dianggap merupakan duplikasi dengan aturan KUHP. Selanjutnya ada kesan UU ITE di satu pihak mengandung unsur perlindungan, tetapi juga mengandung ancaman dan mengakibatkan keresahan.

Itulah keresahan almarhum Prof. Dr. Muladi, S.H. dalam tulisannya mengenai Kebijakan Kriminal dan UU ITE di Harian Kompas pada 7 Januari 2020. Selanjutnya Prof. Muladi menyarankan perlunya UU ITE dievaluasi oleh pemerintah dan DPR, apakah standar kriminalisasi diatas sudah dipenuhi untuk menjamin trias fungsi hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, karena revisi dengan UU No. 19/2016 dianggap belum memuaskan. Terlepas dari kelemahan itu, harus terus dikembangkan peningkatan kualitas penegak hukum untuk dapat melakukan tindakan pelacakan kejahatan ITE dan menetralisasi konten negatif.

Surat Telegram Kapolri No : ST/339/II/RES.1.1.1./2021.

Keresahan Prof. Muladi setahun yang lalu, sebagiannya seperti terjawab dengan terbitnya Surat Telegram Kapolri No. ST/339/II/RES.1.1.1./2021 tertanggal 22 Februari 2021 yang ditandatangani oleh Waka Bareskrim Polri Irjen Pol. Wahyu Hadiningrat, S.I.K., M.H. Surat Telegram Kapolri tersebut pada pokoknya memberikan petunjuk dan pengarahan sebagai pedoman penanganan tindak pidana siber (cybercrime) terhadap hal-hal sebagai berikut :

1. Tindak Pidana yang dapat diselesaikan dengan cara Restorative Justice adalah Pencemaran Nama Baik/Fitnah/Penghinaan adalah sebagai berikut :

     a. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

     b. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP;

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline