Lihat ke Halaman Asli

K.H. Wahid Hasyim, Presiden, dan Islam sebagai Agama Negara

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1380237242486959935

[caption id="attachment_268813" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber foto : http://www.profil.web.id"][/caption] Nama Abdul Wahid Hasyim tidak asing lagi dalam pergerakan Islam dan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah ayahanda dari K.H. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI hasil Pemilihan Umum di tahun 2009 atau pemilu pertama di Era Reformasi. Wahid Hasyim lahir di Jombang pada tanggal 1 Juni 1914  dan putra dari K.H. Hasyim Asy'arie pendiri Nahdlatul 'Ulama salah satu ormas Islam terbesar hingga saat ini.  Beliau memiliki segudang pemikiran mengenai Islam dan Politik yang belum tergantikan hingga saat ini. Karir politiknya begitu cemerlang sebagai tokoh muda NU pada masanya. Pada tahun 1943, beliau menjadi Ketua Majelis Syuro MASYUMI (sebelumnya adalah MIAI sebelum berubah menjadi MASYUMI), dimana NU menjadi salah satu anggota istimewa MASYUMI disamping Muhammadiyah dan ormas lainnya. Sebelumnya pada usia yang cukup muda di usia 25 tahun, Wahid Hasyim menjadi Ketua dari Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). Sebelum Indonesia merdeka beliau ikut merumuskan Piagam Jakarta dan Naskah UUD 1945 di BPUPKI untuk mempersiapkan Indonesia merdeka, dan sebagai anggota PPKI setelah Indonesia merdeka ikut mengesahkan UUD yang kemudian kita kenal sebagai UUD 1945. Setelah Indonesia merdeka, beliau menjadi Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama pada Kabinet yang dibentuk pertama kalinya setelah Indonesia merdeka. Saat ini beliau dikenang dan diangkat menjadi salah satu Pahlawan Nasional. Beliau wafat di usia yang sangat muda di usia 38 tahun, akibat kecelakaan mobil di Kota Cimahi pada 19 April 1953. Usulan Presiden Beragama Islam dan Islam Sebagai Agama Negara. Pada sidang BPUPKI di tanggal 13 Juli 1945, K.H. Wachid Hasjim, mengusulkan agar “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam” dan Pasal 29 diubah sehingga bunyinya kira-kira: “Agama Negara adalah agama Islam. Dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang di susun kembali oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia Cetakan I Edisi IV di tahun 1998, usulan lengkap K.H. Wahid Hasyim adalah sebagai berikut : a.  Buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu          diusulkan pasal 4 ayat (2) ditambah dengan kata-kata: “yang beragama Islam”. Jika Presiden orang                  Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya. b.  Diusulkan supaya pasal 29 diubah sehingga bunyinya kira-kira : “Agama Negara ialah agama Islam”,             dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dsb. Hal ini erat perhubungan             dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena       menurut ajaran Agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideology agama. Pandangan K.H. Wahid Hasyim dalam sidang BPUPKI pada tanggal 13 Juli 1945, ditolak oleh H. Agus Salim yang menyatakan bahwa itu berarti kompromis antara golongan Kebangsaan dan Islam mentah lagi. Pendapat menolak usulah K.H. Wahid Hasyim ini juga diungkapkan oleh Abikusno TjokrosuyosoNamun Dr. Soekiman, justru mendukung dengan alasan bahwa "Usul-usul Wachid Hasjim ini akan memuaskan rakyat, dan pada hakikatnya tidak ada akibatnya apa-apa, maka saya setuju dengan usul-usul Wachid Hasjim, begitu pandangan mendukung Soekiman. Sementara Prof. Husein Djajadiningrat, anggota BPUPKI yang taat menjalankan rukun Islam dan Guru Besar Hukum Islam di Sekolah Hukum Tinggi Jakarta, mengemukakan pendapat lain,  beliau meyakinkan bahwa "Dalam praktik sudah tentu, bahwa yang menjadi Presiden orang Indonesia yang beragama Islam; karena itu setuju jika pasal 4 ayat 2 dihapuskan sama sekali". Perdebatan tentang "lembaga kepresidenan" itu terjadi lagi di sidang pleno BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945 ketika R.T.A.R. Pratalykrama, anggota BPUPKI dengan latar belakang Pangreh Praja/Nasionalis Religius dan bukan berasal dari Islam Nasionalis, ini  mengusulkan kembali agar "Presiden ialah orang Indonesia aseli yang beragama Islam". Lengkapnya usulan Pratalykrama adalah sebagai berikut : "...bahwa Kepala Negara kita yang akan dipilih jadi Kepala Negara Republik Indonesia itu hendaknyalah orang Indonesia aseli yang umurnya tidak kurang dari 40 tahun dan beragama Islam....." Masalah ini menimbulkan kebuntuan dan baru dapat diselesaikan ketika Ir. Soekarno, pada sidang pleono BPUPKI pada 16 Juli 1945, dengan berlinang mata, menghimbau agar yang tidak setuju terhadap rumusan tersebut hendaknya bersedia berkorban meninggalkan pendapatnya tentang hal itu demi persatuan Indonesia. Akhirnya Pasal 4 ayat 2 dihapus, dan Pasal 4 ini kemudian menjadi Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945. Bunyi Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 itu adalah : "Presiden ialah orang Indonesia asli". Presiden, Islam dan Piagam Jakarta. Pemikiran soal Presiden dan Agama resmi negara dari K.H. Wahid Hasyim tidak terlepas dari adanya Piagam Jakarta, dimana Piagam Jakarta memuat bahwa Dasar Negara Republik Indonesia yang nantinya akan terbentuk dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata Piagam Jakarta ini kemudian dihapus dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan menjadi Preambule dari UUD 1945. Dapat dikemukakan bahwa dari golongan Islam yang ikut menyusun Piagam Jakarta memberi interpretasi yang berbeda. K.H. Wahid Hasyim dan K.H.A. Kahar Muzakkir menginterpretasikan bahwa adanya "tujuh kata" itu berarti UUD harus memuat pasal bahwa "Presiden harus orang Indonesia asli yang beragama Islam" sedangkan H. Agus Salim dan Abikusno Tjokrosuyoso tidak menyetujui interpretasi seperti itu karena bertentangan dengan asas kesetaraan. Pemikiran K.H. Wahid Hasyim cukup cemerlang pada masanya, dan melampaui zamannya. Beliau bersama K.H. A. Kahar Muzakkir melihat bahwa mayoritas penduduk Indonesia ketika itu 95 % beragama Islam, dan penulis melihat ada kekhawatiran di kemudian hari dari K.H. Wahid Hasyim sebagai perumus UUD Negara Republik Indonesia, rakyat Indonesia dipimpin oleh seorang yang bukan merepresentasikan kepentingan mayoritas rakyat Indonesia dengan syariat Islam yang harus dikawal penerapannya oleh seorang Presiden yang beragama Islam, yang tentunya pemikiran beliau didasarkan pada Piagam Jakarta. Keberpihakan K.H. Wahid Hasyim kepada agama Islam dan ummat Islam yang diwakilinya sangat kental dan kentara pada zamannya. Perdebatan tentang Piagam Jakarta dan Islam timbul lagi pada waktu sidang Konstituante yang berlangsung pada kurun waktu 1956-1959, atau tiga tahun setelah wafatnya K.H. Wahid Hasyim. Golongan Islam menginginkan agar Dasar Negara adalah Islam dan agar anak kalimat "dengan menjalankan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"  dicantumkan lagi dalam Pembukaan UUD 1945. Tapi golongan Nasionalis menolak karena "trauma" terhadap interpretasi bahwa adanya "tujuh kata" itu harus berarti bahwa "Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam". Dikhawatirkan pula interpretasi seperti itu harus berlaku pula untuk Menteri, Panglima Angkatan dan sebagainya. Setelah Konstituante tidak dapat memecahkan masalah Dasar Negara, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Presiden Sukarno memecahkan persoalan tersebut dengan membuat kompromi lagi, yakni menyatakan bahwa "Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut". Pernyataan dalam Dekrit tersebut menunjukkan bahwa Bung Karno tetap konsisten dengan "perjanjian luhur" yang dibuatnya pada tanggal 22 Juni 1945, dengan catatan bahwa beliau berpendapat kata "yang beragama Islam" tidak perlu dicantumkan dalam pasal yang berbunyi : "Presiden ialah orang Indonesia aseli". Memang dalam perdebatan tersebut, Sukarno terlihat betapa menjadi mediator dan jembatan antara kelompok Islam, Nasionalis, dan Non Muslim yang ada di Konstituante. Bebeberapa orang anggota BPUPKI, termasuk Sukarno, berusaha memberikan "jaminan" bahwa dalam praktek ketetanegaraan Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden pastilah beragama Islam. Dan konvensi ketatatanegaraan ini sampai saat ini masih dipegang kuat dalam politik ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD dan Potensi Pelanggaran Konvensi Ketetanegaraan. Seperti kita ketahui bersama bahwa pada 21 Mei 1998 adalah merupakan tonggak lahirnya orde reformasi dunia politik dan ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dimulai dengan runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun menjadi Presiden dan Kepala Negara Indonesia. Dorongan untuk mereformasi, kalau bukan dikatakan revolusi ketatanegaraan, untuk mengamandemen UUD 1945 begitu kuatnya. Sehingga dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 oleh MPR RI, Pasal 6 UUD 1945 mengalami perubahan yang sangat fundamental, sebelumnya Pasal 6 itu hanya terdiri 2 (dua) ayat. Dalam amandemen keempat UUD 1945 tersebut Pasal 6 tetap 2 (ayat) namun substansinya mengalami perubahan yang revolusioner, dan ditambah dengan Pasal 6A yang terdiri dari 5 (lima) ayat. Hasil amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 6 selengkapnya berbunyi : "(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (2) Syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang". Selain itu revolusioner substansinya juga terjadi desakralisasi dalam syarat-syarat untuk menjadi seorang Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Bahkan penulis mengatakannya selain itu, terjadi proses sekularisasi ruh calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan adanya amandemen Pasal 6 UUD 1945, berati memberikan peluang kepada siapapun sesuai dengan asas kesetaraan untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Amandemen Pasal 6 UUD 1945 telah menghilangkan pemikiran K.H. Wahid Hasyim yang sangat brilian pada masanya dan mengkhianati kesepakatan kompromistis antara Golongan Islam, Nasionalis, dan Non Islam. Pada Pemilihan Presiden pada tahun 2014 ini akan diuji amandemen Pasal 6 UUD 1945 ini, apakah melanggar kesepakatan kompromistis dan melanggar konvensi yang masih diharapkan untuk menghidupkan keberlangsungan semangat pada pendiri bangsa Indonesia. Amandemen Pasal 6 UUD 1945, menurut penulis, tidak lain adalah produk kalangan yang masih menyimpan Islam Phobia di kepalanya, dan berusaha mengaburkan identitas dan akar budaya bangsa Indonesia. Semoga bermanfaat. Sumber Tulisan :

  1. UUD 1945 dan UUD 1945 Hasil Amandemen;
  2. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1998 Cet. I Edisi IV.
  3. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan, R.M. A.B. Kusuma (Peneliti Senior Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI), Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2009.
  4. Bolehkah Nonjawa dan Nonmuslim Menjadi Presiden RI Pasca 2014, http://politik.kompasiana.com/2011/11/19/bolehkah-nonjawa-dan-nonmuslim-menjadi-presiden-ri-pasca-2014-414065.html
  5. Biografi K.H.A. Wahid Hasyim, http://www.profil.web.id/2013/01/biografi-kha-wahid-hasyim.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline