Lihat ke Halaman Asli

Reposisi dan Reintegrasi Polri

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1343684948286329864

[caption id="attachment_190671" align="alignleft" width="300" caption="Lambang Polri"][/caption] Beberapa hari kemarin kita disibukkan lagi dengan isu konflik antara Brimob Polri dengan warga desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Peristiwa bentrok antara warga desa setempat dan aparat kepolisian yang terjadi pada 27 Juli 2012 yang lalu, berawal dari laporan perusahaan perkebunan tebu Cinta Manis PTPN VII yang kehilangan pupuk sebanyak 127 ton di Rayon tiga pada 17 Juli 2012. Akibat bentrokan tersebut, seorang anak bernama Angga bin Darmawan, 12, tewas di tempat kejadian akibat tertembak di bagian kepala. Ironis dan tragisnya yang menjadi korban tewas ini adalah anak-anak. Sementara, empat orang lainnya mengalami luka tembak di bagian bahu dan tangan kiri yakni, Rusman, 36, Yarman 50, Farida 46, tertembak di bagian tangan kanan dan Man, 30, di bagian telinga kiri. Anehnya laporan kehilangan pupuk saja, sampai harus ditangani oleh kesatuan Brimob Polri, yang tidak pada porsinya untuk menangani perkara laporan dan pengaduan yang disampaikan oleh perusahaan. Brimob diterjunkan harusnya pada daerah konflik, dan bukan pada penanganan kasus pidana umum. Kasus pidana umum, harusnya ditangani dan menjadi tugas kesatuan Reserse Kriminal Umum. Kepala Polri pun sampai saat ini, penulis belum melihat sikap dan pertanggungjawaban atas bentrok di desa Limbang Jaya, dan bentrok lain yang sudah terjadi sebelumnya. Ada kesan selama ini, memang faktanya sering Polri menjadi anjing penjaga bagi kepentingan pemilik modal. Sementara rakyat yang harusnya dilindungi justru dikorbankan bahkan dibantai jiwanya. Peristiwa bentrok antara Polri dan rakyat di beberapa daerah sudah seringkali terjadi. Rakyat menjadi korban bentrok pun sudah tak terhitung jumlahnya. Bahkan bentrok antara Polri dan TNI pun kerap terjadi, dan selalu berulang. Ada salah apa pada institusi Polri ini ? Polri Mandiri Semakin Lupa Diri. Pada zaman orde baru, Polri bersama TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara merupakan bagian integral ABRI, yang dipimpin oleh seorang Panglima ABRI yang biasanya merangkap sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Posisi ini terakhir dipegang oleh Jend. (Purn) Wiranto. Di era reformasi, pasca tahun 1998, banyak wacana yang bermunculan untuk memisahkan Polri dengan TNI. Polri memang mempunyai fungsi dan tugas di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, yang berbeda dengan fungsi TNI yang mengkhususkan pada pertahanan negara. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang  Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia lalu dimasukkanya Polri sebagai alat keamanan negara mendapat landasan konstitusional dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 hasil amandemen kedua, maka secara yuridis-konstitusional Polri resmi  dengan Tentara Nasional Indonesia. Lalu kemudian, berdasarkan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, secara yuridis-operasional Polri menjadi institusi kemanan dan ketertiban yang berada dibawah Presiden. Sebelumnya institusi Polri berada dibawah Panglima ABRI yang bertanggungjawab kepada Presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Justru kedudukan TNI yang tetap dan justru berada dibawah kedudukannya dibawah institusi Polri. Sejak itulah Kepala Polri berada dibawah Presiden dan kedudukannya setingkat dengan Menteri Negara. Pengangkatan Kepala Polri pun harus dengan persetujuan dari DPR. Pemisahan Polri dari TNI sebenarnya bermula dari semangat hendak mereformasi institusi Polri, namun apakah kenyataannya Polri menjadi berubah setelah pemisahaan itu ? Itulah yang menjadi persoalan. Jika pada masa orde baru jika ada anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum dan disiplin, diadili oleh Mahkamah Militer atau setidak-tidaknya oleh atasan langsung yang berhak menghukum, maka sejak berlakunya UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri tersebut maka anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum disidangkan di peradilan umum yang sama dengan rakyat biasa, dan yang memeriksa kesalahan mereka juga rekan-rekan mereka sendiri yang tidak terjamin obyektifitas pemeriksaan. Integrasikan Kembali Polri Kedalam ABRI. Pemisahan Polri dari TNI, penulis ibaratkan seperti melempar bola liar ke lapangan. Polri seperti tidak terkendali. Jika masih dibawah dan terintegrasi dalam ABRI, Polri itu seperti anak manis yang menurut saja apa kata Panglima ABRI, maka setelah itu Polri seperti adik yang "kurang ajar" terhadap kakaknya. Sehingga sikap yang liar dan terkendali itulah yang sering menimbulkan bentrok dan gesekan antara anggota Polri dan anggota TNI di beberapa daerah.  Bila ada kesalahan yang dilakukan oleh anggota Polri seperti dan terkesan dilindungi oleh institusinya, karena pemeriksaan dilakukan oleh rekan sejawatnya. Berbeda dengan pemeriksaan anggota Polri yang bersalah di era ABRI, dilakukan oleh Polisi Militer (POM) ABRI. Kalaupun dilakukan secara internal oleh Provoost Polri, namun ada supervisi dari POM ABRI. Penegakan hukum yang dilakukan setelah era pemisahan Polri dan TNI ini, tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam hal kinerja dan prestasi institusi Polri. Rakyat pun seperti enggan lagi berhubungan dengan Polri. Bila dahulu Praperadilan bisa menjadi sarana yang cukup efektif untuk melakukan kontrol terhadap Polri, saat ini sudah tak terjadi lagi kondisi seperti itu. Praperadilan menjadi tamparan bagi Polri ketika itu. Bila hendak mengembalikan citra Polri, memang saatnya untuk memikirkan Reposisi Polri. Reposisi yang paling tepat bagi Polri adalah dengan mengintegrasikan Polri bersama-sama ketiga angkatan dalam TNI untuk membentuk model seperti ABRI dahulu. TNI saja mampu mereformasi institusinya sendiri, namun Polri tidak mampu mereformasi dan merubah institusi sendiri sehingga dapat dicintai rakyatnya sendiri. Hal yang perlu dilakukan adalah membatalkan dan merubah Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan mengamanndemen UUD 1945 kembali ke asal-muasal Polri itu sendiri. Hal itu menjadi tugas kita bersama untuk memperbaiki Polri agar tetap dicintai rakyatnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline