Lihat ke Halaman Asli

Massa, Sekedar Produk Politik atau Suara Tuhan?

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena kebersamaan pergerakan massa dalam riak politik akhir-akhir ini, sesungguhnya membawa kita pada pertanyaan paling mendasar, apa motivasi dibaliknya?

Hembusan angin demokrasi, mengkondisikan gerakan-gerakan massa dewasa ini, sebagai suatu fenomena yang dikenal sebagai perilaku kolektif, adalah hal yang wajar, meski masih harus dipilah lagi secara bijak, peristiwa per peristiwa.

Kalangan skeptis beranggapan, perilaku massa yang menggadang-gadang tokoh tertentu dalam peta politik tanah air, tentunya tidak lepas dari kepentingan, sementara yang sah-sah saja bila yang lain beranggapan kegiatan massa yang terorganisir tersebut (social movement) terbentuk sebagai akibat dari persamaan ideologi.

Manusia Indonesia seharusnya berpikir cermat, setelah tokoh yang di”idola”kan, kemudian berhasil naik ke tampuk pimpinan negeri ini, setelah itu apa? Apa dampak paling signifikan bagi kerumunan massa itu sendiri? Bagaimana aksi nyata si tokoh, yang diharapkan bukan cuma jadi macan podium, tapi minus dalam tindakan nyata, lepas bebas dari aksi seremonial dan pencitraan semata?

Betul, pendewasaan karakter bangsa butuh proses, saya sepakat untuk itu, tapi adalah suatu kewajiban bagi bangsa ini, untuk mencatat secara rinci, bahwa Garuda di dadaku bukan sekedar ditempel di kaos pada saat nasionalisme berkobar di pertandingan sepakbola, tapi tampil nyata sebagai suatu bentuk sikap hati sebagai warga negara dari suatu bangsa yang besar.

Maksudnya, sikap hati yang santun terhadap lawan politik meski berbeda jalan perjuangan, dan tidak memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk mengkebiri karakter dan pilihan politik seseorang, siapapun itu.

Roh demokrasi bukan sekedar spirit imajiner, ditulis rapi diatas dialog dan pidato bernegara, terkesan intelektuil dalam bahasa yang berbunga-bunga, tapi sejatinya dapat mengisi kekosongan dalam lembaran hipokrasi, bagaimana cara  manusia Indonesia yang mengaku berTuhan, dapat merenung dan mendengar suara Tuhan secara benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline