Lihat ke Halaman Asli

Ardluansyah Makmur

Mahasiswa UIN Jakarta, FDIKom, Jurnalistik.

Semangat Belajar meskipun bukan Ujian

Diperbarui: 8 Januari 2024   19:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertengahan serta akhir tahun umumnya dihias dengan status whatsapp berupa foto-foto dan video liburan, bakar-bakaran, serta kebersamaan dengan keluarga besar. Selain itu, status mengenai ujian semester juga ikut meramaikan suasana di media sosial. Namun, apakah keluhan serta kalimat penyemangat yang tersebar di beragam media sosial tersebut dapat dijadikan sebagai patokan dalam menilai semangat belajar anak bangsa zaman ini?

"Status mengenai UAS dan UTS yang dibuat oleh murid dapat memberikan indikasi awal tentang semangat belajar mereka. Meskipun bisa mencerminkan tingkat stres atau kepercayaan diri, hal ini tidak selalu menjadi patokan tunggal. Berbagai faktor lain, seperti keadaan pribadi dan metode belajar, juga turut berperan dalam pencapaian akademis seseorang. Oleh karena itu, evaluasi semangat belajar sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor holistik." ujar Naufal, siswa kelas 11 SMAN 6 Depok, melalui percakapan teks media sosial whatsapp pada 18:58 WIB, 08 Januari, 2024.

Melihat kembali ke masa penjajahan, hanya beberapa pemuda Nusantara yang mendapatkan akses untuk pendidikan yang layak karena dibatasi penjajah; VoC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie/Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau sebutannya kompeni) yang menjelajahi lautan pada abad ke-16 untuk mencari rempah-rempah.

Saat berlabuh di Nusantara, VoC hanya berniat untuk berdagang dengan para raja yang berkuasa pada saat itu. Sadar akan perpecahan yang terjadi di Nusantara, niat VoC berubah menjadi ingin menguasai penuh terhadap tanah serta penduduk Nusantara untuk dimanfaatkan dalam perdagangan.

Dengan kekuatan yang semakin besar, VoC membuat peraturan kepada para raja untuk menyerahkan upeti dan hasil bumi dari rakyat ke mereka. Kekejian ini meningkat saat dilaksanakannya kerja rodi, kerja paksa untuk kepentingan ekonomi VoC. Secara perlahan, lahirlah beberapa pembela kebenaran untuk melawan penindasan terhadap rakyat. Namun karena pembelaan itu bersifat kedaerahan, VoC yang memiliki kekuatan senjata dan prajurit yang lebih modern tanpa kesulitan mampu melawan pembelaan tersebut.

Penderitaan rakyat semakin parah; anak-anak yang kekurangan nutrisi akibat terbatasnya makanan, sanitasi yang kurang diperhatikan karena minimnya akses air bersih, dan memuncak saat wabah cacar melanda. Dukun yang biasanya diandalkan pada saat itu untuk menyembuhkan penyakitpun, tidak bisa mengatasi penyakit tersebut. Dengan begitu, didirikan kursus juru kesehatan untuk mendidik pemuda Nusantara untuk menjadi juru suntik pada 1851.

Pada 1856, nama kursus juru kesehatan diubah menjadi sekolah dokter Djawa, yang bertempat di rumah sakit militer Weltevreden dengan direkturnya Dr. P. Bleeker. Banyak siswa yang berdatangan dari Jawa, Sumatera, Ambon, dan daerah lainnya. Pada 1899 Dr H. F. Roll mengajukan gagasan untuk memisahkan bangunan pendidikan kedokteran, sehingga lokasinya dipindahkan ke samping rumah sakit militer Weltevreden, yang pembangunannya selesai pada 1902. Gedung itu diberi nama Stovia, atau "School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen" dan dokter H. F. Roll menjadi direktur yang pertama.

Stovia adalah tempat pendidikan yang memiliki asrama. Dalam perkembangannya, seiring kebutuhan semakin meningkat (terutama ruang praktek), tempat pendidikan Stovia pindah ke gedung yang baru. Yakni di jalan Salemba no 6, perpindahan ini dilakukan secara bertahap.

Gedung lama Stovia digunakan sebagai sekolah tingkat gulung (SMP/HMS dan SMU atau sekolah asisten apoteker). Namun pada 1942-1945, Jepang menggunakan gedung bekas sekolah Stovia ini sebagai tempat penampungan tentara Belanda dan penahanan tawanan perang. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 1945, mantan serdadu (anggota militer) Knil (sebagian besar berasal dari Ambon) menghuni gedung bekas Stovia sampai 1973.

Pada 20 Mei 1974, Presiden Soeharto meresmikan gedung ini sebagai gedung Kebangkitan nasional, lalu Pemda DKI selenggarakan 4 museum di dalamnya. Museum Boedi Oetomo, kesehatan, Pers, dan museum pergerakan wanita. Dalam gedung ini, juga terdapat kantor yang dikelola pihak swasta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline