Lihat ke Halaman Asli

AD Tuanku Mudo

aktivis sosial kemasyarakatan

Teladan Tuanku Shaliah Lubuak Pandan, Ulama Sejati Mengajar Tidak Mengharap Upah

Diperbarui: 11 September 2020   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Almarhum Buya Marzuki (tengah) mendampingi santri Madrasatul 'Ulum yang sedang gotong royong. (foto dok wag alumni ponpes madrasatul 'ulum)

Buya Tuanku Shaliah Lubuak Pandan adalah ulama yang peduli terhadap nasib banyak orang. Terutama orang-orang yang merasa terpinggirkan, miskin dan dhuafa dalam kehidupan sehari-harinya. Santri yang jadi anak pakiah di pesantren tradisional, sebagian besar berasal dari warga kurang mampu dan lemah ekonomi.

Mendiang Buya Marzuki yang lama jadi santri dan pimpinjan Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan melihat kepedulian Buya yang hidup dalam rentang waktu 1908 -1996 ini memiliki nilai-nilai dan rasa demikian mencolok dalam dirinya.

"Lihat saja setiap zaman atau setiap masa ada saja santri yang ditanggung oleh Buya makan minumnya selama mengaji di Lubuak Pandan," cerita Buya Marzuki pertengahan 2007 silam.

Kepedulian itu adalah bagian dari perilaku dan tabiat seorang ulama sejati. Tentunya, nilai-nilai kepedulian yang terpatri dalam dirinya itu bagian dari cara dia mendidik banyak santrinya. Sebab, beda guru di sekolah dengan guru yang mengajar di surau, adalah cara mengajar dan mendidik anak yang tidak ada batas waktunya.

Guru di surau mengajar tidak hanya dengan cara menyampaikan. Tetapi adalah juga dengan perilaku dan tingkah laku dari sang guru juga bagian dari pola pendidikan. Artinya, pengamalan ilmu itu di mulai dari guru itu sendiri. Guru di pesantren tahu, bahwa tanggungjawabnya tidak sekedar di dunia, melainkan juga sampai ke akhirat kelak.

Buya Marzuki yang lama jadi santri ini pernah melihat Buya Tuanku Shaliah member makan orang yang sakit jiwa. "Suatu kali ada orang gila berjalan di surau ini. Buya sedang makan. Lalu diambilnya sepiring nasih, dikasihnya ke orang gila itu," cerita Buya Marzuki.

Kemudian, istri ulama yang ditinggal wafat suaminya juga jadi perhatian oleh Buya dalam soal ekonominya. "Ulama adalah orang-orang yang ikhlas dalam berbuat. Tak mengharap upah dari pekerjaan dan tugas yang diemban di tengah masyarakat. Dengan ini, kebanyakan ulama itu hidup dalam kekurangan dalam ekonomi, tapi kaya dalam hati dan perasaan," ungkapnya.

Makanya, ketika ulama itu pergi, para istrinya dikhawatirkan berpaling aqidah. Oleh Buya hal yang demikian jadi perhatian utama. "Satu kali Buya ke Singgalang, bertemu banyak orang. Di antara orang banyak itu ada salah seorang istri ulama yang telah meninggal suaminya. Dengan spontan Buya mengeluarkan sejumlah uang dalam kantong sakunya, dan memberikan ke istri ulama tersebut," kata Buya Marzuki.

Ketika ditanya, Buya menjawab bahwa dia seorang istri ulama. Kita menghormati suaminya yang seorang ulama di tengah masyarakat. Dalam pribadi ulama itu yang ada hanya bagaimana memasyarakatkan pengajian. Bagaimana ilmu sampai kepada seluruh lapisan masyarakat, yang ketika menyampaikan pengajian tidak terbayang sama sekali upah yang akan dia terima usai memberikan pengajian. Itulah seorang ulama sejati.

Terhadap dunia pendidikan agama pesantren salafiyah, Buya juga sangat peduli. Seluruh anaknya diserahkan ke pesantren. Dan siapa saja yang dia kenal sedang giat menuntut ilmu di pesantren, menjadi perhatian seriusnya. Sebagai contoh, Abdul Rauf Tuanku Kuniang (alm) (ayah Buchari Rauf), sewaktu sedang menuntut ilmu pernah dibantu oleh Buya. Diberi uang, beras untuk keperluan dalam menuntut ilmu. Padahal secara pribadi, mereka berdua itu tidak ada pertalian darahnya. Tapi itulah sebuah kepedulian dari pengasuh Madrasatul 'Ulum yang diceritakan oleh Tuanku Kuniang Rauf sewaktu sama-sama duduk dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw di Pauah Kambar sebelum dia meninggal dunia.

Seorang ulama yang alim di bidang agama tidak akan memikirkan balasan apa yang akan dia terima setelah dia berbuat baik kepada orang lain. Yang jelas setiap kebaikan yang dia perbuat, mengandung manfaat/pahala di sisi Allah Swt. Sewaktu Buya bertemu dengan Gubernur Sumatera Barat, Hasan Basri Durin, membuat sang gubernur ini terkagum-kagum. Buya merupakan satu angkatan dengan ayah gubernur tersebut, yakni Durin di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Jaho Padang Panjang, di bawah asuhan Syekh Muhammad Djamil Jaho. Bahkan nomor ijazahnya pun berurutan. Buya menerima ijazah dengan nomor 13, dan Durin, ayah gubernur itu nomor 14.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline