Lihat ke Halaman Asli

Faqih Ashri

The Revolutionist

Kapan Bank Bisa Lebih "Manusiawi"?

Diperbarui: 2 Juni 2020   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto : www.pexels.com

"Pak faqih, untuk tagihan bulan Mei harus dibayarkan paling lambat tanggal 29 ya biar tidak kena denda. Kami menunggu setoran dari bapak. Terima kasih."

Kalimat diatas berasal dari suara seorang operator sebuah bank BUMN yang hampir bosan saya dengar setiap mendekati akhir bulan. Mending kalau mereka hanya menghubungi via telepon saja, tapi nyatanya lewat SMS juga. Jika telepon dan SMS tidak ditanggapi, biasanya di "terror" lagi lewat Whatsapp. Pernah beberapa kali juga dihubungi bahkan sebelum menyentuh tanggal 25. Kita sedang serius kerja di depan laptop, tiba-tiba ada nomor tak dikenal memanggil, kan risih juga. 

Sekarang pihak bank sudah hebat. Mereka sudah jarang menggunakan nomor kantor untuk mengingatkan nasabahnya. Nomor kantor dengan kode area Jakarta sangat mudah dikenali, apalagi muncul di akhir bulan. Debitur akan sangat malas untuk mengangkatnya. Menurut hemat saya, pihak Bank toh pasti punya data kecenderungan seorang debitur itu membayar tagihannya tanggal berapa. 

Misalnya seorang pegawai negeri, kreditnya sudah berjalan selama 2 tahun dari total 10 tahun yang tertulis di perjanjian kredit. Selama 2 tahun berjalan pegawai negeri tersebut selalu rutin membayarkan pada tanggal 28 setiap bulannya tanpa pernah telat. Melihat rekam jejak itu saja, harusnya kan pihak bank baru boleh "kebakaran jenggot" jika pegawai tersebut belum bayar setelah melewati tangggal 28 setiap bulannya.

FLASHBACK

Sejak tahun 2014 saya mulai bekerja sebagai karyawan tetap di salah satu bank plat merah, setelah berhasil melalui tes yang berjenjang dan cukup banyak. Dorongan untuk memperoleh penghasilan dan gengsi membuat saya mencoba menjajaki peruntungan di sektor perbankan. Saya tipe orang yang tidak ingin berada di zona nyaman. 

Selama di perbankan, saya berusaha membuat terobosan baru bahkan sejak tahun-tahun awal saya diterima bekerja. Hasilnya, saya sering dikirim ke berbagai event mewakili perusahaan. Waktu terus berjalan, pengahasilan dan fasilitas mengalir terus dengan nominal yang sangat cukup untuk bisa terus membuat asap dapur mengepul, bahkan masih bisa disisihkan untuk tabungan.

Tidak ada masalah, namun masalah terbesar muncul dari nurani saya sendiri. Setiap pergantian waktu, pikiran saya tidak pernah berhenti merenung. Apa ini pekerjaan yang benar-benar dambakan? Penghasilan besar tapi kok seperti tidak bisa dinikmati setiap bulannya? Uang yang dihasilkan rasanya menguap begitu saja tertutupi olehnya capeknya bekerja di dalam tekanan.

Pergi pagi, pulang malam. Jika akhir bulan atau akhir tahun bisa pulang lewat tengah malam. Anak-istri di rumah sudah tidur ketika saya sampai di rumah. Dan keesokan paginya, saya harus berangkat lagi bahkan sebelum anak bangun dan melihat ayahnya. Pekerjaan selalu didasarkan pada target dan tekanan yang tinggi, bahkan beban itu semakin bertambah setiap tahunnya. Sebab, dunia perbankan merupakan bisnis yang bergantung pada keuntungan (laba), yang keuntungan tiap tahun harus lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Itu yang dinamakan pertumbuhan bisnis, dari situ sebuah bank terus hidup.

Suatu ketika saya pernah menawarkan kepada pimpinan, sekiranya bank bisa memberikan bantuan untuk penghijauan dan pembangunan masjid yang saat ini sangat dibutuhkan oleh daerah. Tapi saran saya saat itu mental begitu saja, menguap dibawa oleh angin. Pasti karena tidak ada dampak untuk keuntungan dari sisi finansial, sehingga saran saya tadi diabaikan begitu saja. Ucapkan yang sering menjadi bahan guyonan di lingkungan orang-orang bank adalah : "Kita kan bukan lembaga sosial atau yayasan amal?!".  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline