Menjadi seorang presiden suatu negara adalah posisi dengan kekuasaan luar biasa. Dari kursi kekuasaan itu, seorang kepala negara dapat mempengaruhi arah bangsa, menentukan kebijakan yang berdampak luas, dan bahkan menciptakan sejarah.
Namun, di balik segala kemuliaan tersebut, ada sisi manusiawi yang sering muncul dan mengacaukan tatanan kekuasaan yang dipegangnya, itulah kasih sayang kepada keluarga, terutama anak-anak.
Dalam dunia ideal, para presiden menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan rakyat. Kekuasaan istimewa yang melekat pada jabatan itu seharusnya dijalankan secara bijak, etis, dan sesuai dengan mandat demokrasi. Namun, kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan. Beberapa presiden memilih dengan sadar menggunakan kuasa istimewa yang dimilikinya untuk melakukan hal-hal yang kontroversial dan mementingkan diri sendiri, dalam hal ini anak-anaknya.
Kisah Joe Biden dan Kasih Sayang untuk Sang Anak
Contoh terbaru datang dari Amerika Serikat, negara yang dikenal dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Presiden Joe Biden, di ujung masa jabatannya, dikabarkan memberikan pengampunan kepada putranya, Hunter Biden, yang menghadapi berbagai tuntutan hukum. Secara legal, keputusan ini adalah hak prerogatif presiden, tetapi secara etika, langkah ini menimbulkan banyak pertanyaan.
Apakah keputusan ini mencerminkan cinta seorang ayah? Tentu saja. Joe dan Jill Biden memiliki dua anak, anak pertama telah tiada, Hunter adalah satu-satunya anak yang mereka miliki saat ini. Dia tak tega, di sisa masa hidupnya, menyaksikan anaknya harus masuk penjara dan menderita. Tetapi, apakah langkah ini mencederai prinsip keadilan dan etika kepemimpinan? Jawabannya juga iya.
Rasa sayang kepada anak akhirnya membawa Presiden Biden mengambil langkah yang akan dicatat sejarah sebagai tindakan penuh kontroversi dan mencederai legasinya dalam dunia politik yang telah dibangun dengan susah payah selama puluhan tahun.
Fenomena Serupa di Indonesia
Di Indonesia, fenomena serupa bukanlah hal baru. Kita kerap menyaksikan bagaimana kekuasaan seorang presiden digunakan untuk memastikan masa depan anak-anaknya terjamin, sering kali dengan mengesampingkan norma etika kenegarawanan. Namun, berbeda dengan Joe Biden yang berfokus pada satu anak, di negeri ini, rasa sayang tersebut melibatkan banyak anak sekaligus.
Kekuasaan istimewa digunakan untuk menempatkan anak-anak di posisi strategis, baik di pemerintahan maupun bisnis. Langkah-langkah ini sulit digugat secara hukum, tetapi publik berhak mempertanyakan integritas dan moralitas di balik keputusan tersebut. Sebagai presiden, tindakan ini dapat mengorbankan nama baik, reputasi, dan bahkan warisan kepemimpinan yang akan dicatat dalam sejarah.
Antara Kasih Sayang dan Etika Kenegarawanan
Tidak banyak presiden yang rela "mengorbankan" legacy demi anak-anaknya. Dalam banyak kasus, kasih sayang yang berlebihan akhirnya mengalahkan etika kenegarawanan. Sebagai kepala negara yang dipilih rakyat, presiden seharusnya meletakkan kepentingan bangsa di atas segalanya. Namun, fitrah manusia sebagai orang tua terkadang membawa mereka pada keputusan yang lebih mendahulukan kepentingan darah dagingnya sendiri.
Dunia memang tidak sempurna, dan manusia pun demikian. Mungkin ada alasan mendalam di balik langkah-langkah kontroversial tersebut, alasan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang berada di posisi itu. Tetapi, apakah alasan itu cukup untuk membenarkan penyimpangan etika? Publik berhak menyuarakan keberatan secara kritis.