Figur Xi Jinping menjadi makin menarik untuk diamati akhir-akhir ini, terutama setelah Presiden China ini sangat aktif mendorong dirinya menjadi pemimpin dunia yang kuat, sebagai alternatif dari kepemimpinan negara superpower lain yaitu Amerika Serikat. Mesin propaganda China di seluruh dunia pun sangat aktif mengkampanyekan berbagai cerita positif tentang pemimpin mereka yang satu ini. Makin banyak pemimpin negara dunia ketiga menjadikannya idola, dan sekaligus menjadikan jejak langkah Xi Jinping sebagai model kepemimpinan modern yang telah terbukti mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Apakah ini trend yang positif? Atau justru menjadi pengaruh negatif yang menginspirasi para pemimpin negara lain untuk meniru langkahnya yang banyak menafikan demokrasi dan hak asasi manusia.
Bagi kita di Indonesia, kasus ini akan bisa menjadi pembelajaran sangat berharga karena upaya-upaya seperti ini sudah dan akan terus muncul. Kita harus mampu membendung dan membentengi sistem demokrasi kita agar tak tergelincir masuk ke sistem otoritarianisme.
Xi Jinping, pemimpin China yang kuat dan kontroversial ini telah berhasil mempertahankan posisinya sebagai pemimpin tertinggi China lebih dari dua periode. Xi Jinping terpilih sebagai presiden untuk pertama kalinya pada 14 Maret 2013, melalui pemungutan suara di Kongres Rakyat Nasional ke-12 di Beijing. Ia memperoleh 2.952 suara mendukung, satu suara menentang, dan tiga suara abstain. Ia menggantikan Hu Jintao yang pensiun setelah menjalani dua periode jabatan.
Dia terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun ketiga di akhir tahun 2022. Peristiwa ini mengukir nama Xi Jinping dalam sejarah China sebagai salah satu pemimpin negeri yang terkuat. Dia memperolehnya dengan keputusan yang kontroversial, salah satunya adalah penghapusan batas dua masa jabatan presiden. Bagaimana Xi Jinping bisa memerintah China selama tiga periode dan apakah ini membahayakan stabilitas politik negara tersebut? Simak juga proses amandemen UU China yang akhirnya manghasilkan aturan baru tersebut.
Perubahan Konstitusi yang Kontroversial
Pada tahun 2018, Konstitusi China mengalami perubahan yang kontroversial dengan penghapusan batas dua masa jabatan presiden. Sebelumnya, batasan ini diberlakukan sebagai langkah pencegahan terhadap kembalinya kepemimpinan satu orang yang terlalu kuat, mengacu pada pengalaman era Mao Zedong. Keputusan ini dianggap sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas politik, dan beberapa orang melihatnya sebagai langkah menuju kepemimpinan seumur hidup.
Namun, perlu dicatat bahwa Konstitusi China memang tidak secara eksplisit menyebutkan batasan dua masa jabatan. Batasan ini hanya berdasarkan konvensi yang diatur oleh Deng Xiaoping, pemimpin tertinggi China dari tahun 1978 hingga 1989. Dengan kata lain, penghapusan batasan ini secara teknis tidak melanggar hukum, meskipun sangat tidak konvensional dan kontroversial.
Berikut adalah proses kejadian tersebut secara kronologis:
Pada tahun 2017, dimulailah proses penghapusan batasan dua masa jabatan presiden China yang dipelopori oleh Xi Jinping dan Partai Komunis China (PKC). Usulan tersebut menimbulkan kontroversi dalam dunia politik China dan mendapat beragam respons, baik positif maupun negatif, sebelum akhirnya disetujui oleh Kongres Rakyat Nasional (KRN) pada Maret 2018. Berikut adalah kronologi tentang bagaimana peristiwa ini berproses.
Tahun 2017, Komite Sentral PKC mengajukan serangkaian amandemen konstitusi, termasuk yang paling kontroversial, yaitu penghapusan batasan dua masa jabatan presiden. Langkah ini menjadi titik awal dari sebuah perubahan besar dalam politik Tiongkok.