Lihat ke Halaman Asli

Adriyan Sayed

Praktisi Pasar Modal & Keuangan

China Kini, dalam Perspektif Makro Ekonomi Global

Diperbarui: 21 Februari 2020   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dead city, China (Reuters)

Malang niang nasib yang dialami negeri Tirai Bambu ini. China yang sebelumnya dikenal dengan ekonomi raksasanya sebagai pesaing tangguh Amerika Serikat, kini menjadi tak berdaya di tengah musibah yang sedang dihadapi.

Novel coronavirus atau COVID-19 telah merenggut kebahagiaan negara itu di awal tahun 2020. Di tahun tikus logam dengan suasana Imlek menyambut harapan baru.

Sayangnya, momen itu terlewatkan dan tergantikan dengan sebuah ketakutan dan kepanikan massal yang kemudian WHO menyebutnya sebagai Darurat Kesehatan Internasional.

Tahun 2019 terlewatkan sudah, di tengah terjadinya perang dagang (trade war) antara dua  gajah besar yaitu Amerika Serikat dan China, pertumbuhan negeri Tirai Bambu di 2018 itu masih tumbuh signifikan sebesar U$13 Trilun, menempati posisi ke 2 setelah Amerika Serikat sebesar U$19 Triliun (CNBC). 

Kemudian di bulan September 2019, International Monetery Fund (IMF) kembali merilis peringkat perekonomian China dengan nominal PDB U$25 triliun dan nominal PDB Amerika U$20 triliun, terlihat begitu pesatnya akselerasi perekonomian China sehingga mampu menyalip posisi Amerika di urutan pertama (CNBC).

Namun, perlu dipahami bahwa pertumbuhan ekonomi China di-drive oleh populasi 1.4 miliar penduduk negaranya, sekaligus menjadikan negara itu sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat dengan jumlah penduduk 300 juta orang.

Sebenarnya, ada 2 hal yang menjadi perhatian penulis terhadap pertumbuhan ekonomi China yang begitu signifikan, yaitu:

  1. Surplus ekspor China ke Amerika 2018 naik 17% atau sebesar U$323 miliar tertinggi sejak 2006 (Reuters). Sedangkan impor tumbuh tipis 0.7% di periode yang sama.
  2. Overheating, yang disebabkan oleh bubble harga properti di China akibat likuiditas dan kemudahan akses perbankan sejak 2007 (AFP). Dampak lainnya ialah konsumsi masyarakat dan korporasi yang menggeliat.

Sehingga jika dikaitkan dengan peningkatan PDB nominal China, maka wajar saja jika nilainya tumbuh signifikan, karena pengaruh beberapa komponen yang menjadi trigger perekonomian seperti yang dijelaskan di atas.

Namun, sejak mewabahnya virus Corona yang telah menewaskan 2.120 orang dan menginveksi 75000 orang di negeri itu (Morning Post, 2020), kehidupan di China seperti negeri tak bertuan dan mencekam, sebagaimana pengakuan tim evakuasi WNI saat tiba di China.

Ada tanda tanya besar yang menjadi misteri terkait dengan tingkat kesehatan di China. Pertama, kasus Flu Burung yang terjadi pada tahun 1997, kemudian SARS 2002-2003 dan Corona tahun 2020. Ketiga musibah itu semua berawal dan bersumber dari China.

Apakah penyebaran virus-virus tersebut disebabkan akibat jenis makanan yang mereka konsumsi? Yang bagi kebanyakan orang memang terkesan ekstrem dan tidak sesuai dengan fitrah akal manusia. Wallahu a'lam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline