Lihat ke Halaman Asli

Adri Wahyono

TERVERIFIKASI

Freelancer

Ich bin ein Berliner

Diperbarui: 31 Mei 2016   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. hdwallpaper.com

Helene Meier berdiri mematung memandangi Gerbang Brandenburg yang bisu. Sebisu dirinya sejak ia tiba di tempat ini beberapa saat lalu. Di sampingnya, Berta Meier tak yakin dengan perasaannya sendiri, tapi ia mencoba mencari, perasaan seperti apa yang mungkin akan ia rasakan jika ia menjadi Helene, ketika akhirnya melihat Gerbang Brandenburg lagi setelah bertahun-tahun sejak pelariannya.

Ini adalah kepulangan ibunya yang pertama sejak empat puluh tahun pelariannya dari Berlin timur. Berta menggenggam tangan pucat berkeriputan itu untuk ikut merasakan getaran-getaran yang dirasakan Helene, sang ibu. Ia telah membaca banyak jurnal, buku-buku, dan catatan tentang Tembok Berlin di masa lampau. Masa di mana Berlin timur, kata ibu, seperti neraka.

“Ich bin ein Berliner[1],” kata Helene lirih sambil memandangi wajah putrinya yang sesekali tertutup rambutnya sendiri karena tiupan angin. Berta mengangguk dan ia masih mencoba menyelami perasaan ibunya.

“Kau ingin selalu kembali ke tempat di mana kau dilahirkan, meski tempat itu adalah tempat yang sangat menyedihkan. Aku tak bisa menahan kerinduanku pada kota ini selama bertahun-tahun. Ketika itu tinggal di sini adalah pilihan yang sangat sulit, kau akan memilih untuk pergi dan itulah yang aku lakukan, Berta. Tapi kau akan selalu merindukannya,” kata Helene lagi.

“Kau sudah kembali, bu,” kata Berta sambil memeluk ibunya dan bersama-sama memandangi Gerbang Brandenburg.

Helene mengeluarkan sesuatu dari dalam saku mantelnya. Sesuatu yang Berta sudah terbiasa melihatnya. Sebuah foto lama yang tak pernah terpisah dari ibunya. Seorang laki-laki tampan dengan rahang yang terlihat sangat kuat berdiri dengan seragam lengkap seorang tentara. Dia adalah Olaf Meier, seseorang yang namanya tersemat di belakang nama Berta dan ibunya. Ayah Berta.

“Aku membayangkan ayahmu ada di sini bersama kita, kembali ke kota yang pernah memenjarakan hidup sebagian warga di dalamnya,” kata Helene sambil menatap sosok dalam foto itu, “tapi ia bahkan tak pernah sempat mengenalmu.”

Helene mengguguk. Berta membiarkan sang ibu memuaskan emosi dan keharuannya, dan itu berlangsung hingga beberapa lama.

“Berbulan-bulan ayahmu merencanakan sebuah cara agar kami bisa pergi. Pergi ke seberang tembok Berlin ketika itu adalah sebuah gagasan yang membutuhkan lebih dari sekedar keberanian, tapi juga keikhlasan karena ia seharga nyawamu. Ketika itu sudah kau putuskan untuk kau lakukan, pilihannya hanya hidup atau mati. Kau tetap hidup dan mendapat kebebasan itu ketika berhasil, atau akan langsung terlempar ke neraka jika gagal. Tentara-tentara penjaga tembok itu seperti mesin pembunuh, mereka tak memikirkan apa-apa selain keputusan untuk menembak segala sesuatu yang mereka lihat mencoba melintas ke balik tembok,” Helene menghirup udara sangat kuat dan menghembuskannya pelan-pelan.

Berta tahu, ibunya sedang ingin mengulang ceritanya. Sudah ratusan kali Berta mendengar cerita ibunya tentang usaha ayah mereka untuk diam-diam membawa mereka menyelinap melintasi tembok Berlin pada 1976. Menyeberang ke Berlin barat, menuju kepada kebebasan. Berta tak pernah keberatan membiarkan ibunya terus menghidupkan kenangan itu di dalam hidupnya.

Kisah pelarian ibunya adalah kisah yang menyedihkan. Meski usaha ayah mereka berbuah kebebasan bagi istri dan bayi dalam kandungannya, tapi ayah tak pernah ikut menikmati kebebasan itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline