Kesibukan telah dimulai. Kota kecil Magelang menggeliat sejak malam masih menyisa sepertiga waktunya. Dimulai di pasar Gotong Royong, tempat bertemunya tengkulak sayuran yang membawa hasil bumi dari kaki dan lereng tiga gunung, Andong, Merbabu, dan Merapi, dengan para pedagang pasar atau pedagang keliling yang kulakan bermacam bahan sayuran yang datang dari berbagai tempat. Kehirukpikukan pasar itu justru terjadi saat umumnya orang sedang berada di puncak lelap, dalam hangatnya pelukan selimut, dan empuknya bantal.
Tak hanya para tengkulak dan pedagang yang meramaikan waktu dinihari di pasar itu, tukang-tukang becak juga merelakan waktu tidurnya untuk ikut memungut ‘uang terbang’ dari pasar yang ‘hidup’ di waktu yang tak lazim itu. Kecuali tengkulak dan pedagang kulakan, ada juga orang-orang umum yang berbelanja untuk dapurnya sendiri, dan pemilik warung-warung makan. Harga yang jauh lebih murah membuat mereka rela bangun pagi buta dan memburunya. Penjual makanan yang menjajakan kopi dan teh panas serta goreng-gorengan menambah kesemarakan pasar hingga pagi mulai membenderang.
Semakin siang kehirukpikukan di pasar itu mulai berkurang perlahan untuk kemudian berpindah dan menyebar ke berbagai tempat lain di kota. Pasar besar Rejowinangun mulai bergeliat, toko-toko di sepanjang Pecinan mulai buka satu demi satu, kantor-kantor pemerintahan, bank-bank, dan tak ketinggalan terminal pun mulai sibuk.
Di dalam sebuah gudang toko yang menjual bermacam perkakas pertukangan dan permesinan bernama Sumber Teknik, kesibukan juga sudah dimulai. Jika ada teriakan berupa permintaan sebuah barang tertentu dari depan, itu artinya pelanggan sudah mulai datang. Toko ini akan buka dari jam delapan sampai jam lima sore. Selama itu pula semua orang di toko ini sibuk. Toko ini nyaris tak pernah sepi, karena menjadi satu-satunya toko perkakas terbesar dengan harga yang jauh lebih murah daripada toko sejenis yang lebih kecil.
Di dalam gudang itulah, Nur Saidah kembali tenggelam dalam kesibukan kerja dan tersembunyi dari dunia luar sampai jam lima sore nanti. Nur tak tahu pagi ini merupakan pagi yang ke berapa kali ia mengulang dan mengulang rutinitas yang sama sejak pertama kali melakukannya. Ia hanya ingat ia diterima bekerja di sini ketika umurnya tujuh belas tahun. Dua tahun setelah lulus dari sekolah menengah pertama, pendidikan tertinggi yang bisa diraihnya. Pagi ini umurnya sudah tiga puluh lima. Jika dihitung, delapan belas tahun sudah Nur ‘mengabdi’ pada toko ini.
Orang-orang yang ia lihat ketika pertama kali ia bekerja di sini sudah tak ada lagi, kecuali majikannya laki perempuan dan anak-anaknya. Ada yang menikah dan tak bekerja lagi, ada juga yang pindah bekerja di tempat lain. Jadi sekarang ini ia adalah pegawai terlawas yang ada. Sesuai dengan pengalaman dan waktu ‘pengabdian’ dirinya, maka bayarannya sedikit lebih baik dari pegawai lain. Pada hari raya, libur yang diberikan lumayan cukup. Setidaknya jika dibanding toko lain yang bahkan pada malam hari raya pun masih harus bekerja. Setiap hari raya pula, majikan memberikan THR dan bingkisan-bingkisan.
Tak kurang yang ia dapatkan dari toko ini sebagai imbalan kerja. Majikannya memiliki mulut yang nyaris tak bisa berhenti dari berteriak atau mengomel, tapi tak kurang kurang pula kebaikan hati mereka.
Satu saja dari toko ini yang tak memberikan apa yang Nur sebenarnya sangat berharap. Jalan jodoh. Ia tak memungkiri jika ia berharap begitu banyak, Tuhan mempertemukannya dengan seorang laki-laki melalui toko ini. Ia berharap ada laki-laki yang meliriknya. Tapi sedari tubuhnya masih segar di usia tujuh belas tahun, delapan belas tahun lalu, hingga saat ia merasa tubuhnya melayu sekarang ini, harapan itu rasanya seperti sesuatu yang telah terbang jauh. Ia merasa sepasang matanya menjauhkan dirinya dari harapan itu. Karena sepasang mata itu yang membuat banyak pelanggan enggan dilayaninya, enggan melihatnya. Apalagi jika pelanggan itu adalah orang-orang yang tampak bersih dan datang dengan mobil. Orang-orang seperti itu kebanyakan tahu jika pembeli adalah raja, maka mereka menganggap para pegawai adalah pelayan mereka yang tak apa-apa jika dibentak atau dimaki. Tingkah mereka melebihi majikan pemilik toko pada pegawainya. Seperti yang pernah terjadi pada suatu hari. Majikannya, Koh Hendra, sampai harus datang menenangkan pelanggan yang mungkin merasa dirinya sangat terhormat itu.
“Ada apa, ada apa? Ada apa, Nur? Kenapa, pak, ada yang bisa saya bantu?”
“Ini, Koh. Pelayanmu yang matanya slewah ini sungguh menyebalkan. Saya minta bor buatan Jerman, eh, malah dikasih bor buatan Surabaya begini!”